Oleh: Tgk. Aria Sandra
Dewan Guru Dayah Mahyal Ulum Al-Aziziyah
Pengurus PW. PERGUNU Aceh
Sebenarnya sudah lama hasrat hati ini ingin menanggapi sebuah buku yang tulis oleh seorang guru besar sebuah kampus ternama di Aceh. Di dalam buku ini dikisahkan tentang permasalahan-permasalahan yang di alami oleh lembaga pendidikan dayah di Aceh. Selaku seorang santri saya kurang sependapat dengan buku tersebut, masih terkesan memaksa berkesimpulan tanpa melalui proses penelitian yang akurat, apakah beliau meneliti tentang dayah aceh sebagaimana kaedah penelitian? Jangan-jangan keberadaan dayah saja di seputaran banda aceh-aceh besar tidak semua beliau ketahui, nah pertanyaannya atas dasar apa beliau berpijak…?
Hal yang paling Ironis dalam buku tersebut adalah ketika penulis memaparkan secara blak-blakan seputaran kegagalan-kegagalan yang di alami oleh lembaga Dayah, dengan mengutip beberapa kasus yang terjadi dalam masyarakat seperti peran teungku dayah sudah banyak yang diambil alih oleh lulusan madrasah, seperti imam di masjid dan khatib di hari jum’at. di intansi pemerintah banyak di dominasi oleh lulusan-lusan perguruan tinggi dan juga disinggung tentang partai politik yang berbasis dayah kalah dalam pemilu kada. Belum lagi berbicara tentang pengembangan ekonomi yang dianggap ulama dayah tidak faham tentang perekonomian. Dan juga ulama dayah kalah dalam bidang teknologi.
Melihat permasalahan yang digambarkan dalam buku tersebut membuat saya berpikir secara kritis dan menimbulkan sebuah pertanyaan “apakah benar seperti itu adanya atau hanya sekadar teori yang bersifat hipotesa ? ” mengapa demikian ? Karena, kalau yang menjadi baro meter sebuah keberhasilan adalah menjadi imam di masjid-masjid, maka hal ini sangat keliru karena kenyataannya manyoritas masjid di Aceh yang menjadi imamnya adalah ulama dayah dan begitu juga dengan hal khatib, dalam hal ini penulis hanya melakukan research pada masjid-masjid yang memang rival (berseteru) dengan ulama-dayah, tapi kalau kita mau jujur dan membuka mata tidak semua masjid di Aceh ini seperti yang digambarkan oleh penulis.
Sedangkan pada intansi pemerintahan kenapa tidak ada orang-orang dari dayah, dalam hal ini pun ada beberapa permasalahan, salah satunya kurangnya pemahaman Penulis buku dayah 2050 terhadap Ruhil Ma’had, kemudian persoalan ijazah dayah hingga hari ini belum ada peyang jelas dari pemerintah, jangankan untuk masuk dalam intansi pemerintahan, untuk melanjutkankan keperguruan tinggi saja tidak bisa di legalisasi oleh lembaga pemerintahan yang sah. Jadi disini nampak bahwa ketika minoritasnya alumni dayah di intansi pemerintahan bukan berarti dayah gagal tapi lebih kepada kurangnya kesempatan bagi Alumni dayah. Buktinya ketika instansi yang tidak mensyaratkan ijazah malahan alumni dayah mampu berkiprah bahkan menjadi pilar di instansi tersebut.
Persoalan partai politik saya rasa kalau ini dijadikan sebagai contoh kasus tentang kegagalan dayah maka saya berkesimpulan bahwa dua lembaga perguruan tinggi di Aceh yang sangat terkenal yang konon katanya jantung rakyat Aceh juga mengalami kegagalan yang sangat besar. Belum luput dari ingatan kita pada waktu pemilukada cagub dan cawagub. Dua orang guru besar bahkan sudah pada taraf Prof dan Dr, dari dua perguruan tinggi di Aceh yang maju sebagai calon juga mengalami kekalahnnyang sangat hebat dengan calon yang bukan Prof dan Dr. Berarti dua kampus perguruan tinggi ini juga tidak di terima oleh masyarakat. Bahkan satu dari dua merwka berujung dengan “musibah”.
Maka setelah menyimak dan mengikuti pekembangan dan peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi dalam masyarakat sekarang, akhirnya saya berkesimpulan kajian dan penelitian serta gagasan untuk mendesain dayah 2050 dalam Versi buku Dayah 2050 tidak tepat.
Dengan alasan saya adalah apa yang digambarkan dan yang diharapkan dalam buku tersebut juga tidak terwujud pada orang-orang yang didikan dari perguruan tinggi. Contoh sederhana saja, lulusan perternakan saja belum mampu melepaskan aceh dari medan dalam hal penyediaan telur, begitu juga lulusan ekonomi di aceh hingga hari ini belum mampu melakukan perubuhan ekonomi yang bagus di Aceh apa lagi yang sudah mendirikan lapangan kerja untuk masyarakat.