Oleh. Abu Sibreh
Tgk. H. Faisal Ali
Di sampaikan pada peringatan Harlah PW. GP. Ansor Aceh
di Hotel Hermes
Puji syukur
kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan segenap rahmat dan hidayah-Nya
kepada kita semua sehingga pada kesempatan yang penuh kebahagiaan ini kita
masih bisa berkumpul di tempat ini, Amin.
Selanjutnya shalawat serta salam mudah-mudahan tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. yang telah memberikan kita tuntunan sehingga kita bisa menjadi umat yang Insya'allah di ridhoi, Amin.
Yang terhormat ibu/bapak...
Serta hadirin sekalian yang kami muliakan !
Saudara-saudara yang saya hormati.
Sebagai warga yang menyukai tanah kelahirannya, serta sebagai warga dari negara yang kita cintai ini. Sepatutnya kita bisa melindungi apa yang sudah jadi warisan beberapa leluhur kita yakni kebudayaan. Sangatlah salah bila kita sebagai pribumi mencemooh apa yang sudah leluhur kita wariskan pada kita..
Selanjutnya shalawat serta salam mudah-mudahan tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. yang telah memberikan kita tuntunan sehingga kita bisa menjadi umat yang Insya'allah di ridhoi, Amin.
Yang terhormat ibu/bapak...
Serta hadirin sekalian yang kami muliakan !
Saudara-saudara yang saya hormati.
Sebagai warga yang menyukai tanah kelahirannya, serta sebagai warga dari negara yang kita cintai ini. Sepatutnya kita bisa melindungi apa yang sudah jadi warisan beberapa leluhur kita yakni kebudayaan. Sangatlah salah bila kita sebagai pribumi mencemooh apa yang sudah leluhur kita wariskan pada kita..
Kita
hendaknya tidak menjadi lupa diri, dari mana dan di mana kita berada saat ini. Sebab
terasa sangat aneh, jika kita melupakan asal usul kita sendiri. Misalnya, tidak
sedikit generasi muda kita saat ini yang lupa jati dirinya sendiri. Ia merasa
bangga dengan kebudayaan luar serta membiarkan kebudayaan kita hilang dicuri
orang. Pergeseran nilai budaya sebagai contoh pada makanan impor yang saat ini
dengan mudahnya melakukan infasi ke Indonesia dan Aceh. Anak-anak kita sekarang
mungkin ada yang tidak kenal lagi dengan bulukat kuah tuhe, karena sudah ada pizza
hut, halua sudah bertukar dengan mc Donald, geukarah telah diubah menjadi KFC,
dan banyak lagi kuliner peninggalan leluhur kita yang sudah hilang dalam
rumah-rumah tangga orang Aceh sekarang ini. Mungkin, hanya orang-orang kampong
saja yang masih melestarikan kekayaan khazanah kuliner tradisional Aceh saat ini.
Saudara-saudara yang saya hormati.
Saudara-saudara yang saya hormati.
Selain
mudah melupakan peninggalan leluhur, aspek lainnya yang tak kalah penting
adalah, ada dari kita yang begitu mudahnya melupakan “akarnya”. Misalkan hari
ini ada pejabat yang berasal dari dayah. Bahkan ada yang menduduki jabatan
strategis seperti kepala daerah, namun sang pejabat malah masih malu-malu
mengakui dirinya berasal dari dayah. Malah, jika ada pembahasan tentang dayah,
orang yang asal dayah pulalah yang lebih keras suaranya mengkritik dayah.
Padahal ketika dulu, saat hendak bertarung dalam pilkada atau pemilu legislative, ada yang memelas, minta dikasihani untuk didukung oleh para ulama. Bahkan, kepada ulama dijanjikan angin surga. Misalnya dengan mengalokasikan dana untuk dayah, beasiswa bagi santri, dan pembangunan fisik dayah, dan entah apalagi janji-janji lainnya. Namun, apa yang dialami oleh pimpinan dayah dan para santri, sangat jauh panggang dari api.
Sebagai
contoh, anggaran yang disediakan untuk
pengembangan dayah/pesantren dan balai pengajian selama ini masih minim,
terutama anggaran untuk pembangunan fisik dayah. Selain itu, masih banyak dayah
dan lembaga pengajian yang belum mendapat bantuan dari provinsi.
Kita tidak tahu, apakah tahun depan akan bertahan pada angka yang sama malah dibawah itu. Namun kita tetap berharap, tahun depan Bapak Gubernur dapat meningkatkan anggaran untuk dayah. Kita juga memohon agar besaran insentif guru dayah juga bisa ditingkatkan pada tahun 2014.
Memang pemprov melalui Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) Aceh, tahun ini Pemerintah Aceh menganggarkan dana Rp 15 miliar untuk insentif guru dayah/pesantren diseluruh Aceh. Namun angka ini jelas sangat minim dibandingkan kebutuhan dengan yang ada.
Kita tidak tahu, apakah tahun depan akan bertahan pada angka yang sama malah dibawah itu. Namun kita tetap berharap, tahun depan Bapak Gubernur dapat meningkatkan anggaran untuk dayah. Kita juga memohon agar besaran insentif guru dayah juga bisa ditingkatkan pada tahun 2014.
Memang pemprov melalui Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) Aceh, tahun ini Pemerintah Aceh menganggarkan dana Rp 15 miliar untuk insentif guru dayah/pesantren diseluruh Aceh. Namun angka ini jelas sangat minim dibandingkan kebutuhan dengan yang ada.
Sedangkan anggaran untuk pembangunan fisik dayah
tahun ini, hanya berasal dari dana aspirasi anggota DPRA yang ditempatkan
melalui BPPD Aceh. Untunglah masih ada dana aspirasi sehingga lubang angin
dayah tidak terhempas angin kencang. Karena banyak yang lapuk.
Para hadirin, sebenarnya ulama itu penurut, terutama kalau diajak berbuat pada kebajikan. Namun jangan lantas dianggap sangat penurut, sehingga ulama bisa digiring ke sana ke mari. Misalnya, diajak untuk memenuhi undangan kenduri, berdoa, peusijuek penempatan gedung parpol, kantor pemerintahan, bahkan swasta, saya rasa tidak ada teungku yang menolak.
Para hadirin, sebenarnya ulama itu penurut, terutama kalau diajak berbuat pada kebajikan. Namun jangan lantas dianggap sangat penurut, sehingga ulama bisa digiring ke sana ke mari. Misalnya, diajak untuk memenuhi undangan kenduri, berdoa, peusijuek penempatan gedung parpol, kantor pemerintahan, bahkan swasta, saya rasa tidak ada teungku yang menolak.
Namun bukan berarti ulama bisa dibeli. Atau apalagi
dianggap sebagai komoditas politik yang bisa diperjualbelikan sesuai dengan
kebutuhan. Tapi tetap saja ada yang memperlakukan ulama seperti itu. Saya
yakin, orang yang demikian tidak akan tenang dan makmur hidupnya.
Hadirin yang dimuliakan Allah SWT. Kalau kita dengar
pidato para pejabat yang turun ke dayah, kita sering mendengar komentar
pejabat, bahwa kalau ingin maju, maka dayah harus mandiri. Harus punya usaha
sendiri, penghasilan sendiri. Untung tidak ada pejabat yang mengatakan, kalau dayah
ingin maju, bangun bank sendiri. Ini pasti pejabatnya tidak lulus fit and
proper test.
Hadirin sekalian, mereka memang mudah mengatakan
demikian, bahwa kemandirian lembaga dayah harus didorong. Tapi omong kosong,
jika tanpa didukung dengan dana. Ironisnya, pejabat yang menuntut demikian,
mungkin belum paham benar hukum perencanaan dan perekonomian dengan baik. Sebab,
saat pejabat menuntut kemandirian dayah, justru anggaran untuk dayah di satu
pihak terus dikebiri. Tragisnya, pada saat yang bersamaan, lembaga lain terus
bergantung pada APBN dan APBA, bahkan kemandiriannya harus saban tahun disokong
oleh dana APBN dan APBA. Kurang sedikit saja anggarannya, akan ribut terus.
Hadirin
sekalian, mengapa kita terkadang melihat ulama dan dayah sebagai komoditas,
yang bisa diperlakukan sesuka hati. Habis manis sepah dibuang. Jadi jangan
jadikan ulama sebagai stempel, alat pendukung, apalagi sebagai alat propaganda.