Terkini :
Dayah Mahyal Ulum Al-Aziziyah Kembali Menerima Pendaftaran Siswa(i) untuk Jenjang SMK, Info selengkapnya silahkan donwlaod brosurnya
Home » » PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH ASY'ARIYYAH

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH ASY'ARIYYAH

Written By Unknown on Sabtu, 10 Mei 2014 | 01.03

As-Subki dalam Thabaqatnya berkata: "Ketahuilah bahwa Abu al-Hasan al- Asy'ari tidak membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau hanya menegaskan kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaran sahabat Rasulullah.
Penisbatan nama kepadanya karena beliau konsisten dalam berpegang teguh ajaran salaf, hujjah (argumentasi) yang beliau pakai sebagai landasan kebenaran aqidahnya juga tidak keluar dari apa yang menjadi hujjah para pendahulunya, karenanya para pengikutnya kemudian disebut Asy'ariyyah.

Abu al-Hasan al-Asy'ari bukanlah ulama yang pertama kali berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah, ulama-ulama sebelumya juga banyak berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah. Beliau hanya lebih memperkuat ajaran salaf itu dengan argumen-argumen yang kuat. Bukankah penduduk kota Madinah banyak dinisbatkan kepada Imam Malik, dan pengikutnya disebut al Maliki. Ini bukan berarti Imam Malik membawa ajaran baru yang sama sekali tidak ada pada para ulama sebelumnya, melainkan karena Imam Malik menjelaskan ajaran-ajaran lama dengan penjelasan yang lebih rinci dan sistematis..demikian juga yang dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari".

Pendapat Habib Abdullah ibn Alawi al-Haddad

Menurut Beliau "kelompok Aswaja yang benar adalah kelompok Asy'ariyah yang dinisbatkan kepada Imam Asy'ari. Aqidahnya juga aqidah para sahabat dan tabi'in, aqidah ahlul haqq dalam setiap masa dan tempat, aqidahnya juga menjadi aqidah kaum sufi sejati. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Imam Abul Qasim al-Qusyayri. Dan alhamdulillah aqidahnya juga menjadi aqidah kami dan saudara-saudara kami dari kalangan habaib yang dikenal dengan keluarga Abu Alawi, juga aqidah para pendahulu kita. Kemudian beliau melantunkan satu bait sya'ir:

وَكُنْ أَشْعَرِيّاً فِي اْعتِقاَدِكَ إِنَّهُ هُوَ اْلمَنْهَلُ الصَّافِي عَنِ الزَّيْغِ وَاْلكُفْرِ

"Jadilah pengikut al Asy'ari dalam aqidahmu, karena ajarannya adalah sumber yang bersih dari kesesatan dan kekufuran".

Pendapat Ibnu 'Abidin al Hanafi

Beliau mengatakan dalam Hasyiyah Radd al Muhtar 'ala ad-Durr al Mukhtar : "Ahlussunnah Wal Jama'ah adalah al Asya'irah dan al Maturidiyyah".  Dalam kitab 'Uqud al-Almah al Habib Abdullah Alaydrus al Akbar mengatakan :
"Aqidahku adalah aqidah Asy'ariyyah Hasyimiyyah Syar'iyyah sebagaimana aqidah para ulama madzhab syafi'i dan Kaum Ahlussunnah Shufiyyah". Bahkan jauh sebelum mereka ini Al Imam al 'Izz ibn Abd as-Salam mengemukakan bahwa aqidah al Asy'ariyyah disepakati oleh kalangan pengikut madzhab Syafi'i, madzhab Maliki, madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudlala al Hanabilah).
Pendapat yang dikemukakan oleh al 'Izz ibn Abd as-Salam ini disetujui oleh para ulama di masanya, seperti Abu 'Amr Ibn al Hajib (pimpinan ulama Madzhab Maliki di masanya), Jamaluddin al Hushayri pimpinan ulama Madzhab Hanafi di masanya, juga disetujui oleh al Imam at-Taqiyy as-Subki sebagaimana dinukil oleh putranya Tajuddin as-Subki.

GARIS BESAR AQIDAH ASY'ARIYYAH

Secara garis besar aqidah asy'ari yang juga merupakan aqidah ahlussunnah wal jama'ah adalah meyakini bahwa Allah ta'ala maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, Allah bukanlah benda yang bisa digambarkan juga bukan benda yang berbentuk dan berukuran. Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya (laysa kamitslihi syai'). Allah ada dan tidak ada permulaan atau penghabisan bagi ada-Nya, Allah maha kuasa dan tidak ada yang melemahkan-Nya, serta Ia tidak diliputi arah. Ia ada sebelum menciptakan tempat tanpa tempat, Iapun ada setelah menciptakan tempat tanpa tempat. tidak boleh ditanyakan tentangnya kapan, dimana dan bagaimana ada-Nya. Ia ada tanpa terikat oleh masa dan tempat. Maha suci Allah dari bentuk (batasan), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar dan anggota badan yang kecil. Ia tidak diliputi satu arah atau enam arah penjuru. Ia tidak seperti makhluk-Nya. Allah maha suci dari duduk, bersentuhan, bersemayam, menyatu dengan makhluk-Nya, berpindah-pindah dan sifat-sifat makhluk lainnya.

Allah tidak terjangkau oleh fikiran dan Ia tidak terbayang dalam ingatan, karena apapun yang terbayang dalam benakmu maka Allah tidak seperti itu. Ia maha hidup, maha mengetahui, maha kuasa, maha mendengar dan maha melihat. Ia berbicara dengan kalam-Nya yang azali sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain juga azali, karena Allah berbeda dengan semua makhluk-Nya dalam dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Barang siapa menyifati Allah dengan sifat makhluknya sungguh ia telah kafir.

Allah yang telah menciptakan makhluk dan perbuatan-perbuatan-Nya, Ia juga yang mengatur rizki dan ajal mereka. Tidak ada yang bisa menolak ketentuan-Nya dan tidak ada yang bisa menghalangi pemberian-Nya. Ia berbuat dalam kerajaan-Nya ini apa yang Ia kehendaki. Ia tidak ditanya perihal perbuatan-Nya melainkan hamba-Nyalah yang akan diminta pertanggungjawaban atas segala perbuatan-Nya. Apa yang Ia kehendaki pasti terlaksana dan yang tidak Ia kehendaki tidak akan terjadi. Ia disifati dengan kesempurnaan yang pantas bagi-Nya dan Ia maha suci dari segala bentuk kekurangan.

Nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan penghulu para rasul. Ia diutus Allah ke muka bumi ini untuk semua penduduk bumi, jin maupun manusia. Ia jujur dalam setiap apa yang disampaikannya.

TIDAK SEMUA YANG BARU ITU SESAT
Pemberian titik dan syakal pada mushaf itu tidak ada pada masa Rasul dan Rasul tidak pernah memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk melakukan itu, tapi sampai saat ini tidak ada yang berani mengatakan itu sesat dan yang sesat masuk neraka. Demikian juga adzan kedua pada hari jum'at yang dirintis pertama kali oleh sahabat Utsman ibn Affan karena melihat umat Islam sudah semakin banyak. Pada masa Rasul, Abu Bakar dan Umar adzan pada hari jum'at hanya dilakukan sekali ketika khatib naik mimbar, kemudian pada masa Utsman adzan ditambah sebelum khatib naik mimbar. Adzan yang pertama ditujukan untuk memperingatkan umat bahwa waktu dzuhur sudah masuk dan bersegera untuk meninggalkan aktifitas duniawinya dan datang ke masjid. Apakah kemudian Utsman disebut ahli bid'ah?!

Bukankah Rasulullah telah memberikan keleluasan (rukhshah) kepada umatnya untuk berinovasi dalam hal kebaikan?! dalam haditsnya Rasul bersabda: "Barang siapa merintis perkara baru yang baik dalam Islam maka ia mendapatkan pahala dari upayanya serta pahala orang yang menjalankannya" . Seiring dengan perkembangan zaman tentu kebutuhan umat manusia semakin banyak lebih banyak dari masa Rasul dan sahabat, tidak ada salahnya kalau kita memanfaatkan fasilitas-fasilitas teknologi yang telah tercipta itu untuk mempermudah kepentingan kita beribadah kepada Allah. Karena tidak semua yang baru itu salah dan menyesatkan. Selamat membaca.

BID’AH
Bid’ah dalam bahasa berarti sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam pengertian syara’ adalah sesuatu yang baru yang tidak terdapat secara tekstual baik dalam al Qur’an maupun hadits. Bid’ah terbagi kepada dua bagian, sebagaimana dipahami dari hadits ‘Aisyah -semoga Allah meridlainya-, ia berkata: Rasulullah bersabda yang maknanya: “Barang siapa berbuat sesuatu yang baru dalam syariat ini yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak”. Bagian pertama: Bid’ah Hasanah, juga dinamakan Sunnah Hasanah yaitu sesuatu yang baru yang sejalan dengan al Qur’an dan Sunnah. Bagian kedua: Bid’ah Sayyi’ah, juga dinamakan Sunnah Sayyi’ah yaitu sesuatu yang baru yang menyalahi al Qur’an dan sunnah.

Pembagian bid’ah ini, juga dapat dipahami dari hadits Jarir ibn Abdillah al-Bajali -- semoga Allah meridlainya--, berkata:

Bersabda Rasulullah yang maknanya: “Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatan tersebut juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka, dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah buruk maka baginya dosa dari perbuatan tersebut juga dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim).

Contoh bagian pertama: Peringatan maulid nabi di bulan rabi’ul awal. Orang yang pertama kali mengadakan maulid nabi ini adalah raja al-Mudzaffar penguasa Irbilia (Iraq) pada abad 7 hijriyah. Pembuatan titik-titik dalam (huruf-huruf) al Qur’an oleh Yahya bin Ya’mur, salah seorang tabi’i yang agung. Beliau adalah seorang yang alim dan bertaqwa, perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari ahli hadits dan ulama lainnya, mereka menganggap baik hal ini sekalipun Mushhaf tersebut tidak memakai titik saat Rasulullah mendiktekannya kepada para penulis wahyunya.

Begitu pula Utsman ibn ‘Affan ketika menyalin mushhaf yang lima atau enam tidak dengan titik-titik (pada huruf–hurufnya), dan dari saat itulah semua orang Islam hinggga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al Qur’an. Apakah hal ini harus dikatakan bid’ah sesat sebab Rasul tidak pernah melakukannya?. Jika masalahnya demikian maka hendaklah mereka meninggalkan mushhaf-mushhaf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya hingga seperti pada masa Utsman.

Abu Bakr ibn Abi Dawud, penulis kitab Sunan, dalam karyanya kitab al-mashahif berkata: orang yang pertama kali membuat titik dalam mushhaf adalah Yahya bin Ya’mur, salah seorang ulama dari kalangan tabi’in yang mengambil riwayat dari sahabat Abdullah ibn Umar dan lainya. Contoh bagian kedua: Hal-hal yang baharu dalam masalah aqidah, seperti bid’ahnya golongan Mu’tazilah, Khawarij dan mereka yang menyalahi apa yang telah menjadi keyakinan para sahabat nabi.

Contoh lainnya ceperti penulisan shad ( ص) setelah nama nabi sebagai pengganti Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Padahal para ahli hadits telah menetapkan dalam kitab-kitab musthalah al-hadits bahwa menuliskan shad ( ص) saja setelah penulisan nama nabi adalah makruh, namun begitu mereka tidak sampai mengharamkannya.

Dengan demikian dari manakah mereka yang berlebih- lebihan dan membuat kegaduhan mengatakan bahwa perayaan maulid nabi adalah bid’ah yang diharamkan dan bahwa bershalawat atas nabi setelah adzan adalah bid’ah yang diharamkan, dengan alasan bahwa Rasulullah dan atau para sahabatnya tidak pernah melakukannya?!.

Hal yang serupa juga merubah nama Allah menjadi “Aah” atau yang sejenisnya yang banyak dilakukan oleh mereka yang mengaku-aku pengikut tharekat. Maka dari itu Imam Syafi’i semoga --Allah meridlainya-- berkata: “Hal-hal yang baru dalam masalah agama ada dua bagian. Pertama, perkara baru yang menyalahi al Qur’an, sunnah, ijma’ atau atsar, inilah bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang baik yang tidak menyalahi al Qu’an, sunnah, maupun ijma’, inilah perkara yang baru yang tidak tercela”. Diriwayatkan al Baihaqi dengan sanadnya dalam kitabnya Manaqib as Syafi’i. Pembagian Bid'ah yang dibagi oleh Imam Syafi'i di atas adalah sebuah kaidah yang beliau fahami dari nash-nash hadits tentang bid'ah-tentunya beliau lebih faham dari kita tentang maksud hadits-hadits itu-, sehingga kita tidak terburu-buru mengklaim bahwa semua bid'ah adalah sesat tanpa meneliti telebih dahulu, apakah ia bertentangan dengan Al-qur'an atau tidak?!!


Share this article :
 
Desainer: Abiya
Copyright © 2014. Dayah Mahyal Ulum Al-Aziziyah
Sekretariat: Jl. Banda Aceh-Medan Km.16,8 Sibreh Aceh Besar