As-Subki dalam Thabaqatnya berkata: "Ketahuilah bahwa Abu al-Hasan al-
Asy'ari tidak membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau hanya menegaskan
kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaran sahabat Rasulullah.
Penisbatan nama kepadanya karena beliau konsisten dalam berpegang teguh
ajaran salaf, hujjah (argumentasi) yang beliau
pakai sebagai landasan kebenaran aqidahnya juga tidak keluar dari apa yang
menjadi hujjah para pendahulunya, karenanya para pengikutnya kemudian disebut
Asy'ariyyah.
Abu al-Hasan al-Asy'ari bukanlah ulama yang pertama kali berbicara tentang
Ahlussunnah wal Jama'ah, ulama-ulama sebelumya juga banyak berbicara tentang
Ahlussunnah wal Jama'ah. Beliau hanya lebih memperkuat ajaran salaf itu dengan
argumen-argumen yang kuat. Bukankah penduduk kota Madinah banyak dinisbatkan
kepada Imam Malik, dan pengikutnya disebut al Maliki. Ini bukan berarti Imam
Malik membawa ajaran baru yang sama sekali tidak ada pada para ulama
sebelumnya, melainkan karena Imam Malik menjelaskan ajaran-ajaran lama dengan
penjelasan yang lebih rinci dan sistematis..demikian juga yang dilakukan oleh
Abu al-Hasan al-Asy'ari".
Pendapat Habib Abdullah ibn
Alawi al-Haddad
Menurut
Beliau "kelompok Aswaja yang benar adalah kelompok Asy'ariyah yang dinisbatkan kepada Imam Asy'ari. Aqidahnya
juga aqidah para sahabat dan tabi'in, aqidah ahlul haqq dalam setiap masa dan
tempat, aqidahnya juga menjadi aqidah kaum sufi sejati. Hal ini sebagaimana
diceritakan oleh Imam Abul Qasim al-Qusyayri. Dan alhamdulillah aqidahnya juga
menjadi aqidah kami dan saudara-saudara kami dari kalangan habaib yang dikenal
dengan keluarga Abu Alawi, juga aqidah para pendahulu kita. Kemudian beliau
melantunkan satu bait sya'ir:
وَكُنْ أَشْعَرِيّاً فِي اْعتِقاَدِكَ
إِنَّهُ هُوَ اْلمَنْهَلُ الصَّافِي عَنِ الزَّيْغِ وَاْلكُفْرِ
"Jadilah
pengikut al Asy'ari dalam aqidahmu, karena ajarannya adalah sumber yang bersih
dari kesesatan dan kekufuran".
Pendapat Ibnu 'Abidin al Hanafi
Beliau mengatakan dalam
Hasyiyah Radd al Muhtar 'ala ad-Durr al Mukhtar : "Ahlussunnah Wal Jama'ah
adalah al Asya'irah dan al Maturidiyyah". Dalam kitab 'Uqud al-Almah al Habib Abdullah Alaydrus al Akbar mengatakan :
"Aqidahku adalah aqidah Asy'ariyyah Hasyimiyyah Syar'iyyah sebagaimana
aqidah para ulama madzhab syafi'i dan Kaum Ahlussunnah Shufiyyah". Bahkan
jauh sebelum mereka ini Al Imam al 'Izz ibn Abd as-Salam mengemukakan bahwa
aqidah al Asy'ariyyah disepakati oleh kalangan pengikut madzhab Syafi'i,
madzhab Maliki, madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali
(Fudlala al Hanabilah).
Pendapat yang dikemukakan
oleh al 'Izz ibn Abd as-Salam ini disetujui oleh para ulama di masanya, seperti
Abu 'Amr Ibn al Hajib (pimpinan ulama Madzhab Maliki di masanya), Jamaluddin al
Hushayri pimpinan ulama Madzhab Hanafi di masanya, juga disetujui oleh al Imam
at-Taqiyy as-Subki sebagaimana dinukil oleh putranya Tajuddin as-Subki.
GARIS BESAR
AQIDAH ASY'ARIYYAH
Secara garis besar aqidah asy'ari yang juga merupakan aqidah ahlussunnah
wal jama'ah adalah meyakini bahwa Allah ta'ala maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya,
Allah bukanlah benda yang bisa digambarkan juga bukan benda yang berbentuk dan
berukuran. Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya (laysa kamitslihi syai'). Allah ada dan tidak ada permulaan atau
penghabisan bagi ada-Nya, Allah maha kuasa dan tidak ada yang melemahkan-Nya,
serta Ia tidak diliputi arah. Ia ada sebelum menciptakan tempat tanpa tempat,
Iapun ada setelah menciptakan tempat tanpa tempat. tidak boleh ditanyakan
tentangnya kapan, dimana dan bagaimana ada-Nya. Ia ada tanpa terikat oleh masa
dan tempat. Maha suci Allah dari bentuk (batasan), batas akhir, sisi-sisi,
anggota badan yang besar dan anggota badan yang kecil. Ia tidak diliputi satu
arah atau enam arah penjuru. Ia tidak seperti makhluk-Nya. Allah maha suci dari
duduk, bersentuhan, bersemayam, menyatu dengan makhluk-Nya, berpindah-pindah
dan sifat-sifat makhluk lainnya.
Allah tidak terjangkau
oleh fikiran dan Ia tidak terbayang dalam ingatan, karena apapun yang terbayang
dalam benakmu maka Allah tidak seperti itu. Ia maha hidup, maha mengetahui,
maha kuasa, maha mendengar dan maha melihat. Ia berbicara dengan kalam-Nya yang
azali sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain juga azali, karena Allah berbeda
dengan semua makhluk-Nya dalam dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Barang siapa menyifati
Allah dengan sifat makhluknya sungguh ia telah kafir.
Allah yang telah menciptakan makhluk dan perbuatan-perbuatan-Nya, Ia juga
yang mengatur rizki dan ajal mereka. Tidak ada yang bisa menolak ketentuan-Nya
dan tidak ada yang bisa menghalangi pemberian-Nya. Ia berbuat dalam kerajaan-Nya
ini apa yang Ia kehendaki. Ia tidak ditanya perihal perbuatan-Nya melainkan
hamba-Nyalah yang akan diminta pertanggungjawaban atas segala perbuatan-Nya.
Apa yang Ia kehendaki pasti terlaksana dan yang tidak Ia kehendaki tidak akan
terjadi. Ia disifati dengan kesempurnaan yang pantas bagi-Nya dan Ia maha suci
dari segala bentuk kekurangan.
Nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan penghulu para rasul. Ia diutus Allah ke muka bumi ini untuk semua penduduk bumi, jin maupun
manusia. Ia jujur dalam setiap apa yang disampaikannya.
TIDAK SEMUA
YANG BARU ITU SESAT
Pemberian titik dan syakal pada mushaf itu tidak ada pada masa Rasul dan
Rasul tidak pernah memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk melakukan itu, tapi
sampai saat ini tidak ada yang berani mengatakan itu sesat dan yang sesat masuk
neraka. Demikian juga adzan kedua pada hari jum'at yang dirintis pertama kali
oleh sahabat Utsman ibn Affan karena melihat umat Islam sudah semakin banyak.
Pada masa Rasul, Abu Bakar dan Umar adzan pada hari jum'at hanya dilakukan
sekali ketika khatib naik mimbar, kemudian pada masa Utsman adzan ditambah
sebelum khatib naik mimbar. Adzan yang pertama ditujukan untuk memperingatkan
umat bahwa waktu dzuhur sudah masuk dan bersegera untuk meninggalkan aktifitas duniawinya
dan datang ke masjid. Apakah kemudian Utsman disebut ahli bid'ah?!
Bukankah Rasulullah telah memberikan keleluasan (rukhshah) kepada umatnya
untuk berinovasi dalam hal kebaikan?! dalam haditsnya Rasul bersabda:
"Barang siapa merintis perkara baru yang baik dalam Islam maka ia
mendapatkan pahala dari upayanya serta pahala orang yang menjalankannya" .
Seiring dengan perkembangan zaman tentu kebutuhan umat manusia semakin banyak
lebih banyak dari masa Rasul dan sahabat, tidak ada salahnya kalau kita
memanfaatkan fasilitas-fasilitas teknologi yang telah tercipta itu untuk mempermudah
kepentingan kita beribadah kepada Allah. Karena tidak semua yang baru itu salah
dan menyesatkan. Selamat membaca.
BID’AH
Bid’ah dalam bahasa berarti sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh
sebelumnya. Dalam pengertian syara’ adalah sesuatu yang baru yang tidak
terdapat secara tekstual baik dalam al Qur’an maupun hadits. Bid’ah terbagi
kepada dua bagian, sebagaimana dipahami dari hadits ‘Aisyah -semoga Allah
meridlainya-, ia berkata: Rasulullah bersabda yang maknanya: “Barang siapa
berbuat sesuatu yang baru dalam syariat ini yang bukan bagian darinya, maka ia
tertolak”. Bagian pertama: Bid’ah Hasanah, juga dinamakan Sunnah Hasanah yaitu
sesuatu yang baru yang sejalan dengan al Qur’an dan Sunnah. Bagian kedua:
Bid’ah Sayyi’ah, juga dinamakan Sunnah Sayyi’ah yaitu sesuatu yang baru yang
menyalahi al Qur’an dan sunnah.
Pembagian bid’ah ini, juga dapat dipahami dari hadits Jarir ibn Abdillah
al-Bajali -- semoga Allah meridlainya--, berkata:
Bersabda Rasulullah yang maknanya: “Barang siapa merintis (memulai) dalam
agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatan
tersebut juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) tanpa
berkurang sedikitpun dari pahala mereka, dan barang siapa merintis dalam Islam
sunnah buruk maka baginya dosa dari perbuatan tersebut juga dosa dari orang
yang melakukannya (mengikutinya) tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”.
(H.R. Muslim).
Contoh bagian pertama: Peringatan maulid nabi di bulan rabi’ul awal. Orang
yang pertama kali mengadakan maulid nabi ini adalah raja al-Mudzaffar penguasa
Irbilia (Iraq) pada abad 7 hijriyah. Pembuatan titik-titik dalam (huruf-huruf) al
Qur’an oleh Yahya bin Ya’mur, salah seorang tabi’i yang agung. Beliau adalah
seorang yang alim dan bertaqwa, perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama
dari ahli hadits dan ulama lainnya, mereka menganggap baik hal ini sekalipun
Mushhaf tersebut tidak memakai titik saat Rasulullah mendiktekannya kepada para
penulis wahyunya.
Begitu pula Utsman ibn ‘Affan ketika menyalin mushhaf yang lima atau enam
tidak dengan titik-titik (pada huruf–hurufnya), dan dari saat itulah semua
orang Islam hinggga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al
Qur’an. Apakah hal ini harus dikatakan bid’ah sesat sebab Rasul tidak pernah
melakukannya?. Jika masalahnya demikian maka hendaklah mereka meninggalkan
mushhaf-mushhaf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya hingga seperti pada
masa Utsman.
Abu Bakr ibn Abi Dawud, penulis kitab Sunan, dalam karyanya kitab
al-mashahif berkata: orang yang pertama kali membuat titik dalam mushhaf adalah
Yahya bin Ya’mur, salah seorang ulama dari kalangan tabi’in yang mengambil
riwayat dari sahabat Abdullah ibn Umar dan lainya. Contoh bagian kedua: Hal-hal
yang baharu dalam masalah aqidah, seperti bid’ahnya golongan Mu’tazilah,
Khawarij dan mereka yang menyalahi apa yang telah menjadi keyakinan para
sahabat nabi.
Contoh lainnya ceperti penulisan shad ( ص) setelah nama
nabi sebagai pengganti Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Padahal para ahli hadits
telah menetapkan dalam kitab-kitab musthalah al-hadits bahwa menuliskan shad ( ص)
saja setelah penulisan nama nabi adalah makruh, namun begitu
mereka tidak sampai mengharamkannya.
Dengan demikian dari manakah mereka yang berlebih- lebihan dan membuat
kegaduhan mengatakan bahwa perayaan maulid nabi adalah bid’ah yang diharamkan
dan bahwa bershalawat atas nabi setelah adzan adalah bid’ah yang diharamkan,
dengan alasan bahwa Rasulullah dan atau para sahabatnya tidak pernah
melakukannya?!.
Hal yang serupa juga merubah nama Allah menjadi “Aah” atau yang sejenisnya
yang banyak dilakukan oleh mereka yang mengaku-aku pengikut tharekat. Maka dari
itu Imam Syafi’i semoga --Allah meridlainya-- berkata: “Hal-hal yang baru dalam
masalah agama ada dua bagian. Pertama, perkara baru yang menyalahi al Qur’an,
sunnah, ijma’ atau atsar, inilah bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang
baik yang tidak menyalahi al Qu’an, sunnah, maupun ijma’, inilah perkara yang
baru yang tidak tercela”. Diriwayatkan al Baihaqi dengan sanadnya dalam
kitabnya Manaqib as Syafi’i. Pembagian Bid'ah yang dibagi oleh Imam Syafi'i di
atas adalah sebuah kaidah yang beliau fahami dari nash-nash hadits tentang
bid'ah-tentunya beliau lebih faham dari kita tentang maksud hadits-hadits itu-,
sehingga kita tidak terburu-buru mengklaim bahwa semua bid'ah adalah sesat
tanpa meneliti telebih dahulu, apakah ia bertentangan dengan Al-qur'an atau tidak?!!