(قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: وَإِنَّ هَذِهِ اْلمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ ثِنْتاَنِ وَسَبْعُوْنَ فِي النّاَرِ وَواَحِدَةً فِي اْلجَنَّةِ وَهِيَ اْلجَمَاعَةُ (رَواَهُ أَبُوْ دَاوُدَ)
Maknanya: “…dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 di antaranya di neraka dan hanya satu yang di surga yaitu al-Jama’ah”. (H.R. Abu Dawud)
Akal adalah syahid (saksi dan bukti) akan kebenaran syara’. Inilah sebenarnya yang dilakukan oleh ulama tauhid atau ulama al-kalam (teologi). Yang mereka lakukan adalah taufiq (pemaduan) antara kebenaran syara’ dengan kebenaran akal, mengikuti jejak nabi Ibrahim -seperti dikisahkan al-Quran- ketika membantah raja Namrud dan kaumnya, di mana beliau menundukkan mereka dengan dalil akal. Fungsi akal dalam agama adalah sebagai saksi bagi kebenaran syara’ bukan sebagai peletak dasar bagi agama itu sendiri. Berbeda dengan para filosof yang berbicara tentang Allah, malaikat dan banyak hal lainnya yang hanya berdasarkan penalaran akal semata. Mereka menjadikan akal sebagai dasar agama tanpa memandang ajaran yang dibawa para nabi. Tuduhan kaum Musyabbihah; kaum yang sama sekali tidak memfungsikan
akal dalam agama, terhadap Ahlussunnah sebagai ’Aqlaniyyun (kaum yang hanya mengutamakan akal) atau sebagai kaum Mu’tazilah atau Afrakh al-Mu’tazilah (anak bibitan kaum Mu’tazilah) dengan alasan karena lebih mengedepankan akal, adalah tuduhan yang salah alamat. Ini tidak ubahnya seperti seperti kata pepatah arab “Qabihul Kalam Silahulliam” (kata-kata yang jelek adalah senjata para pengecut). Secara singkat namun komprehensif, kita ketengahkan bahasan tentang Ahlissunnah sebagai al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat), asal-usulnya, dasar-dasar ajaran dan sistematikanya.
PEMBAHASAN
Sejarah mencatat bahwa di kalangan umat Islam dari mulai abad-abad permulaan (mulai dari masa khalifah sayyidina Ali ibn Abi Thalib) sampai sekarang terdapat banyak firqah (golongan) dalam masalah aqidah yang faham satu dengan lainnya sangat berbeda bahkan saling bertentangan. Ini fakta yang tak dapat dibantah. Bahkan dengan tegas dan gamblang Rasulullah telah menjelaskan bahwa umatnya akan pecah menjadi 73 golongan. Semua ini tentunya dengan kehendak Allah dengan berbagai hikmah tersendiri, walaupun tidak kita ketahui secara pasti. Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Namun Rasulullah juga telah menjelaskan jalan selamat yang harus kita tempuh agar tidak terjerumus dalam kesesatan. Yaitu dengan mengikuti apa yang diyakini oleh al-Jama’ah; mayoritas umat Islam. Karena Allah telah menjanjikankepada Rasul-Nya, Muhammad , bahwa umatnya tidak akan tersesat selama mereka berpegang teguh kepada apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka. Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan. Kesesatan akan menimpa mereka yang menyempal dan memisahkan diri dari keyakinan mayoritas. Mayoritas umat Muhammad dari dulu sampai sekarang adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam Ushul al-I’tiqad (dasar-dasar aqidah); yaitu Ushul al-Iman al-Sittah (dasar-dasar iman yang enam) yang disabdakan Rasulullah dalam hadits Jibril:
الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره (رواه البخاري ومسلم)
Maknanya: “Iman adalah engkau mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir serta Qadar (ketentuan Allah); yang baik maupun buruk”. (H.R. al Bukhari dan Muslim)
Perihal al-Jama’ah dan pengertiannya sebagai mayoritas umat Muhammad yang tidak lain adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya :
" أُوصِيكُمْ بِأَصْحَابِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ "، "عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنْ الِاثْنَيْنِ أَبْعَدُ مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمْ الْجَمَاعَةَ" (رواه الترميذي وقال حسن صحيح وصححه الحاكم)
Maknanya: “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian -- mengikuti-- orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian mengikuti yang datang setelah mereka“. Dan termasuk rangkaian hadits ini: “Tetaplah bersama al-Jama’ah dan jauhi perpecahan karena syaitan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (syaitan) dari dua orang akan lebih jauh, maka barang siapa menginginkan tempat lapang di surga hendaklah ia berpegang teguh pada (keyakinan) al-Jama’ah”. (H.R. at-Turmudzi, ia berkata hadits ini Hasan Shahih juga hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim).
Al-Jama’ah dalam hadits ini tidak boleh diartikan dengan orang yang selalu menjalankan shalat dengan berjama’ah, jama'ah masjid tertentu atau dengan arti ulama hadits, karena tidak sesuai dengan konteks pembicaraan hadits ini sendiri dan bertentangan dengan hadits-hadits lain. Konteks pembicaraan hadits ini jelas mengisyaratkan bahwa yang dimaksud al-Jama’ah adalah mayoritas umat Muhammad dari sisi kuantitas.
Penafsiran ini diperkuat juga oleh hadits yang kita tulis di awal pembahasan. Yaitu hadits riwayat Abu Dawud yang merupakan hadits Shahih Masyhur, diriwayatkan oleh lebih dari 10 orang sahabat. Hadits ini memberi kesaksian akan kebenaran mayoritas umat Muhammad bukan kebenaran firqah-firqah yang menyempal.
Jumlah pengikut firqah-firqah yang menyempal ini, dibanding pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah sangatlah sedikit. Selanjutnya di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah dikenal istilah “ulama salaf”. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dari kalangan Ahlusssunnah Wal Jama’ah yang hidup pada 3 abad pertama hijriyah sebagaimana sabda nabi:
خَيْرُ القرون قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ (رواه الترمذي)
Maknanya: “Sebaik-baik abad adalah abadku kemudian abad setelah mereka kemudian abad setelah mereka”. (H.R. Tirmidzi)
Pada masa ulama salaf ini, di sekitar tahun 260 H, mulai menyebar bid’ah Mu’tazilah, Khawarij, Musyabbihah dan lainnya dari kelompok-kelompok yang membuat faham baru. Kemudian dua imam agung; Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324 H) dan Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) –semoga Allah meridlai keduanya– datang dengan menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al-Quran dan Hadits) dan dalil-dalil aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhat-syubhat (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarij tersebut di atas dan ahli bid’ah lainnya. Sehingga Ahlussunnah dinisbatkan kepada keduanya. Mereka; Ahlussunnah Wal Jamaah akhirnya dikenal dengan nama al- Asy’ariyyun (para pengikut imam Abu al-Hasan Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para pengikut imam Abu Manshur al-Maturidi).
Hal ini tidak menafikan bahwa mereka adalah satu golongan yaitu al-Jama’ah. Karena sebenarnya jalan yang ditempuh oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam pokok aqidah adalah sama dan satu. Adapun perbedaan yang terjadi di antara keduanya hanya pada sebagian masalah-masalah furu’ (cabang) aqidah. Hal tersebut tidak menjadikan keduanya saling menghujat atau saling menyesatkan, serta tidak menjadikan keduanya lepas
dari ikatan golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiyah). Perbedaan antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini adalah seperti halnya perselisihan yang terjadi antara para sahabat nabi, perihal apakah Rasulullah Saw melihat Allah pada saat Mi’raj?.
Sebagian sahabat, seperti ‘Aisyah dan Ibn Mas’ud mengatakan bahwa Rasulullah tidak melihat Tuhannya pada waktu Mi’raj. Sedangkan Abdullah ibn 'Abbas mengatakan bahwa Rasulullah r melihat Allah dengan hatinya. Allah memberi kemampuan melihat kepada hati Nabi Muhammad Saw sehingga dapat melihat Allah. Namun demikian al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini tetap sepaham dan sehaluan dalam dasar-dasar aqidah. Al-Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H) mengatakan:
إِذاَ أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَاْلجَماَعَةِ فَالْمُراَدُ بِهِمِ اْلأَشاَعِرَةُ وَاْلماَتُرِيْدِيَّةُ
“Jika dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah “. (al-Ithaf, juz 2 hlm 6)
Jadi aqidah yang benar dan diyakini oleh para ulama salaf yang shalih adalah aqidah yang diyakini oleh al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Karena sebenarnya keduanya hanyalah meringkas dan menjelaskan aqidah yang diyakini oleh para nabi dan rasul serta para sahabat. Aqidah Ahlusssunnah adalah aqidah yang diyakini oleh ratusan juta umat Islam, mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, serta orang-orang yang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah).
Aqidah ini diajarkan di pesantren-pesantren Ahlussunnah di negara kita, Indonesia. Dan al-Hamdulillah, aqidah ini juga diyakini oleh ratusan juta kaum muslimin di seluruh dunia seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama al-Azhar), negara-negara Syam (Syiria, Yordania, Lebanon dan Palestina), Maroko, Yaman, Irak, Turki, Daghistan, Checnya, Afghanistan dan masih banyak lagi di negara-negara lainnya.
Maka wajib bagi kita untuk senantiasa penuh perhatian dan keseriusan dalam mendalami aqidah al- Firqah al-Najiyah yang merupakan aqidah golongan mayoritas. Karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia, sebab ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Abu Hanifah menamakan ilmu ini dengan al-Fiqh al-Akbar.
Karenanya, mempelajari ilmu ini harus lebih didahulukan dari mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Setelah cukup mempelajari ilmu ini baru disusul dengan ilmu-ilmu yang lain. Inilah metode yang diikuti para sahabat nabi dan ulama rabbaniyyun dari kalangan salaf maupun khalaf dalam mempelajari agama ini. Tradisi semacam ini sudah ada dari masa Rasulullah, sebagaimana dikatakan sahabat Ibn 'Umar dan sahabat Jundub:
كُناَّ نَحْنُ فِتْياَنٌ جَزَاوِرَةٌ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعَلَّمْناَ اْلإِيْماَنَ وَلَمْ نَتَعَلَّمِ اْلقُرْآن َثُمَّ تَعَلَّمْناَ اْلقُرْآنَ فَازْدَادَ بِهِ إِيْماَناً (رواه ابن ماجه وصححه الحافظ البوصيري)
Maknanya: “Kami -selagi remaja saat mendekati baligh- bersama Rasulullah mempelajari iman (tauhid) dan belum mempelajari al-Qur’an. Kemudian kami mempelajari al-Qur’an maka bertambahlah keimanan kami". (H.R. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Hafidz al- Bushiri).
Ilmu aqidah juga disebut dengan ilmu kalam. Hal tersebut dikarenakan banyaknya golongan yang mengatas namakan Islam justru menentang aqidah Islam yang benar dan banyaknya kalam (adu argumentasi) dari setiap golongan untuk membela aqidah mereka yang sesat. Tidak semua ilmu kalam itu tercela, sebagaimana dikatakan oleh golongan Musyabbihah (kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Akan tetapi ilmu kalam terbagi menjadi dua bagian: ilmu kalam yang terpuji dan ilmu kalam yang tercela. Ilmu kalam yang kedua inilah yang menyalahi aqidah Islam karena sengaja dikarang dan ditekuni oleh golongan-golongan yang sesat seperti Mu’tazilah, Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, sepeti kaum Wahabiyyah) dan ahli bid’ah lainnya. Adapun ilmu kalam yang terpuji ialah ilmu kalam yang dipelajari oleh Ahlussunah untuk membantah golongan yang sesat. Dikatakan terpuji karena pada hakekatnya ilmu kalam Ahlussunnah adalah taqrir dan penyajian prinsip-prinsip aqidah dalam formatnya yang sistematis dan argumentatif; dilengkapi dengan dalil-dalil naqli dan aqli.
Dasar-dasar ilmu kalam ini telah ada di kalangan para sahabat. Di antaranya, sahabat 'Ali ibn Abi Thalib dengan argumentasinya yang kuat dapat mengalahkan golongan Khawarij, Mu’tazilah juga dapat membantah empat puluh orang yahudi yang meyakini bahwa Allah adalah jism (benda). Demikian pula sahabat 'Abdullah ibn Abbas, al-Hasan ibn 'Ali ibn Abi Thalib dan 'Abdullah ibn Umar juga membantah kaum Mu’tazilah. Sementara dari kalangan tabi’in; imam al-Hasan al- Bashri, imam al-Hasan ibn Muhamad ibn al-Hanafiyyah; cucu sayyidina Ali ibn Abi Thalib dan khalifah Umar ibn Abdul Aziz juga pernah membantah kaum Mu’tazilah. Kemudian juga para imam dari empat madzhab; imam Syafi’i, imam Malik, imam Abu Hanifah, dan imam Ahmad juga menekuni dan menguasai ilmu kalam ini. Sebagaimana dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi (W 429 H) dalam kitab Ushul ad-Din, al-Hafizh Abu al-Qasim ibn ‘Asakir (W 571 H) dalam kitabTabyin Kadzib al Muftari, al-Imam az-Zarkasyi (W 794 H) dalam kitab Tasynif al- Masami’ dan al 'Allamah al Bayyadli (W 1098 H) dalam kitab Isyarat al-Maram dan lain-lain.
Allah berfirman:
(فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ) (محمد:19)
Maknanya: “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah dan mohonlah ampun atas dosamu". (Q.S. Muhammad :19) Ayat ini dengan sangat jelas mengisyaratkan keutamaan ilmu ushul atau tauhid. Yaitu dengan menyebut kalimah tauhid (la ilaha illallah) lebih dahulu dari pada perintah untuk beristighfar yang merupakan furu’ (cabang) agama. Ketika Rasulullah r ditanya tentang sebaik-baiknya perbuatan, beliau menjawab:
(إِيْماَنٌ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ (رَوَاهُ اْلبُخَارِي
Maknanya: “Iman kepada Allah dan rasul-Nya”. (H.R. Bukhari)
Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah r mengkhususkan dirinya sebagai orang yang paling mengerti dan faham ilmu tauhid, beliau bersabda:
أَناَ أَعْلَمُكُمْ بِاللهِ وَأَخْشَاكُمْ لَهُ (رَوَاهُ اْلبُخَارِي)
Maknanya: “Akulah yang paling mengerti di antara kalian tentang Allah dan paling takut kepada-Nya”. (H.R. Bukhari)
Karena itu, sangat banyak ulama yang menulis kitab-kitab khusus mengenai penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah ini. Seperti Risalah al-'Aqidah ath- Thahawiyyah karya al-Imam as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H), kitab al ‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam ‘Umar an-Nasafi (W 537 H), al-‘Aqidah al- Mursyidah karangan al-Imam Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al 'Aqidah ash-Shalahiyyah yang ditulis oleh al-Imam Muhammad ibn Hibatillah al-Makki (W 599 H); beliau menamakannya Hadaiq al-Fushul wa Jawahir al Uqul, kemudian menghadiahkan karyanya ini kepada sultan Shalahuddin al-Ayyubi (W 589 H). Tentang risalah aqidah yang terakhir disebutkan, sultan Shalahuddin sangat tertarik dengannya hingga beliau memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anak-anak kecil di madrasah-madrasah, yang akhirnya risalah aqidah tersebut dikenal dengan nama al 'Aqidah ash-Shalahiyyah.
Sulthan Shalahuddin adalah seorang ‘alim yang bermadzhab Syafi’i, mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al 'Aqidah as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan para muadzdzin untuk mengumandangkan al 'Aqidah as-Sunniyyah di waktu tasbih (sebelum adzan shubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara Syam (Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah, Madinah, dan Yaman sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam al Wasa-il ila Musamarah al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak terdapat buku-buku yang telah dikarang dalam menjelaskan al 'Aqidah as-Sunniyyah dan senantiasa penulisan itu terus berlangsung.
Kita memohon kepada Allah semoga kita meninggal dunia dengan membawa aqidah Ahlissunah Wal Jamaah yang merupakan aqidah para nabi dan rasul Allah.
Amin.
Baca Juga:
PENDAPAT PARA ULAMA
TENTANG AQIDAH ASY'ARIYYAH; AQIDAH
AHLUSSUNNAH
WAL JAMA'AH
Sumber: www.darulihsanabuhasan.com