Terkini :
Dayah Mahyal Ulum Al-Aziziyah Kembali Menerima Pendaftaran Siswa(i) untuk Jenjang SMK, Info selengkapnya silahkan donwlaod brosurnya
Home » » Mengembalikan Eksitensi Dayah Dalam Bernegara Dan Kehidupan

Mengembalikan Eksitensi Dayah Dalam Bernegara Dan Kehidupan

Written By pergunuaceh on Rabu, 26 Maret 2014 | 06.31

Oleh: Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab (Ayah Jeunib)
Ketua I. PB. HUDA Aceh
Pimpinan Dayah Babussalam Jeunib
 
Aceh sebagai wilayah pertama yang menerima kehadiran Islam dikawasan Asia Tenggara sejak abad pertama Hijriah, merupakan kawasan dimana masyarakatnya memiliki karakteristik tersendiri. Keunikan karakteristik ini disebabkan oleh pengaruh Islam yang sangat kuat dalam proses pembentukan budaya rakyat Aceh. Bahkan Islam menjadi asas bagi pembinaan budaya itu sendiri. Keadaan tersebut dapat terus bertahan karena kesadaran masyarakat yang tinggi dalam menjalankan dan menjaga nilai-nilai agama.
Benteng yang paling berjasa dalam proses pertahanan budaya masyarakat tersebut adalah lembaga pendidikan yang disebut “DAYAH” juga disertai dengan perjuangan ‘alim ulama. Kata Dayah adalah kutipan dari bahasa arab yaitu “Zawiyah” Rumah Arqam Bin Abi Arqam tempat Rasulullah SAW mengajarkan para sahabatnya, Kata Zawiyah berpemahan majlis pengajian. Kata itu kemudian berubah sesuai dengan dialek bahasa Aceh menjadi Dayah. Dalam perkembangan selanjutnya Dayah dalam terminologi orang Aceh adalah sebuah lembaga pendidikan Islam yang berperan aktif membina keteguhan keimanan, akhlaq, semangat, jihad dan keilmuan masyarakat.
Dimasa kejayaan Iskandar Muda, Dayah menjadi lembaga pendidikan resmi, yang mencetak aparatur pemerintahan karajaan. Namun kemudian dimasa kemerdekaan, peran Dayah diganti oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah sesuai dengan perkembangan masa dan kebutuhan. Dalam kondisi ini Dayah sebagai lembaga pendidikan tertua tetap mampu eksis dibawah asuhan Ulama. Sistem pendidikan Dayah yang tidak memungut biaya pendidikan menjadikan Dayah lebih akrab dengan masyarakat kelas bawah. Masyarakat yang merupakan mayoritas bangsa ini dan berada dilini terdepan dan paling rentan terhadap pengaruh negetif budaya asing.
Tantangan modernisasi/westernisasi sejak zaman penjajahan sampai sekarang tidak dapat dihindari. Kondisi fenomenal ini telah mengikis budaya Islami masyarakat, terutama genarasi mudanya. Disinilah peran Dayah terbukti mampu memberikan Basis Moral Islami yang kuat bagi generasi muda sehingga mareka memiliki filter dalam menghadaapai arus modernisasi.
Kesadaran masyarakat akan fakta di atas telah memunculkan komitmen para Ulama untuk melestartikan eksistensi lembaga Dayah. komitmen tersebut juga diikuti partisipasi masyarakat yang besar. Hal ini dibuktikan oleh besarnya animo masyarakat agar anaknya sempat mengecap pendidikan Dayah.
II. Tujuan Penulisan
Dalam rangka musyawarah besar ke II Himpunan Ulama Dayah Aceh (Huda) dan seminar Internasioanal penulis ingin menyampaikan peran aktif ulama dan dayah dalam rangka melanjutkan nilai- nilai yang terdapat dalam Islam dan mendidik umat kejalan yang benar, membentengi ‘aqidah, menanamkan moral serta partisipasi ulama dan dayah dalam membangun masyarakat yang ta’at beragama dan bernegara tidak terlepas pula peran ulama dan dayah dalam perjalan roda kepemerintahan serta lini- lini yang lain.
 Bab II Pembahasan
I. Pengertian Dayah
Dayah (dalam bahasa Arab; زاوية‎ zawiyah. Artinya sudut, karena pengajian pada masa Rasulullah dilakukan di sudut-sudut mesjid) adalah kata yang digunakan untuk sebuah lembaga pendidikan Islam di Aceh (di pulau Jawa disebut pesantren, asal kata “pe-santri-an”. Artinya tempat para santri menetap dan menimba ilmu).
Dayah di Aceh merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam yang bertujuan untuk membimbing anak didik (Aneuk Dayah, santri) untuk menjadi manusia yang berkepribadian islami, yang sanggup menjadi umat yang berguna bagi bangsa dan negara serta agama. Diharapkan dari dayah lahir insan-insan yang menekankan pentingnya penerapan akhlak agama Islam yang merupakan pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
Bila ditinjau dari sudut historis kultural, dayah di Aceh dapat dikatakan sebagai pusat pelatihan yang secara otomatis menjadi pusat budaya Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat di Aceh.
Dayah-dayah di Aceh dapat dikatakan sebagai “bapak” dari pendidikan Islam yang didirikan berdasarkan tuntutan dan kebutuhan zaman, yang mana dayah dilahirkan atas kesadaran kewajiban islamiah, yaitu menyebarkan dan mengembangkan agama Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama, da’I dan pemimpin- pemimpin yang beragama.
Tidak sedikit ulama-ulama dayah yang terkenal, baik dari segi keilmuannya juga dari sumbangsihnya kepada negara. Banyak ulama-ulama Aceh yang syahid, gugur di medan perang melawan penjajah, membela negara dan tanah air, seperti Teungku Chik Di Tiro, Teungku Chik Kuta Karang, Teungku Fakinah dan seumpama beliau. Mereka ini adalah insan pilihan yang merupakan hasil dari didikan dayah.
Sekarang sudah banyak dayah-dayah di Aceh, dari berbagai jenis. Dayah Salafiyah masih bertahan dengan sistem pendidikan yang diwariskan turun-temurun dari satu generasi ke generasi. banyak contoh dayah terbaik dengan system diatas.
Kebanyakan dari dayah tradisional masih dikelola oleh seorang pimpinan dayah yang bila sudah wafat kemudian digantikan oleh pimpinan yang lain setelahnya, biasanya digantikan oleh anak-anak dari pimpinan dayah tersebut, atau juga dapat digantikan oleh menantu dan mungkin juga kerabat yang lain. Ini dikarenakan dayah tradisional di Aceh kebanyakannya milik pribadi seseorang pimpinan dayah atau milik orang lain yang dikelola oleh seorang teungku chik atau abu pimpinan dayah.
Di Aceh juga terdapat dayah/pesantren terpadu, dimana lembaga yang satu ini sudah menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang lebih modern, dengan fasilitas yang lebih maju, manajemen yang teratur. Dengan penambahan-penambahan pada materi pendidikannya, bahkan menyamai sekolah.
II. Eksitensi Dayah
Dayah adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang sudah sangat mengakar sejak Islam bertapak di Aceh pada abad pertama Hijriah. Dayah menjadi pusat dari pembahasan mengenai pendidikan Islam dalam konteks masyarakat Aceh baik di masa lalu maupun masa sekarang.
Penulis meyakini bahwa pemimpin-pemimpin Aceh masa lalu termasuk Sultan Iskandar Muda adalah sosok yang juga mengenyam pendidikan dayah sebelum menjadi penguasa, walaupun tidak ada catatan yang lebih rinci mengenai hal ini yang bisa ditemui dalam literatur-literatur sejarah Aceh yang ada. Dayah masa lalu sukses mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama dengan baik. Karena itu, dayah tidak hanya menghasilkan ulama saja, tapi juga politikus maupun negarawan yang berpengaruh.
Secara historis, dayah merupakan lembaga pendidikan yang multifungsi. Ia menjadi benteng pertahanan sekaligus pusat penyiaran (dakwah) Islam. Selain dayah salafiah (dayah tradisional), dalam perkembangannya dayah mencatat kemajuan dengan munculnya dayah-dayah baru dan dilaksanakannya sistem pendidikan madrasah yang mengajarkan pelajaran umum, seperti sejarah, matematika, dan ilmu bumi, yang sekarang disebut dengan dayah modern atau dayah terpadu.
Eksistensi dayah menjadi istimewa karena ia menjadi pendidikan alternatif (penyeimbang) dari pendidikan yang dikembangkan oleh kaum kolonial (Barat) yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Dayah menjadi tempat berlabuh umat Islam yang tersingkir secara budaya (pendidikan) akibat perlakuan diskriminatif penjajah.
Kini perkembangan dayah dengan sistem pendidikannya mampu mensejajarkan diri dengan pendidikan lain pada umumnya. Kenyataan ini menjadi aset yang luar biasa baik bagi perkembangan pendidikan dayah maupun pendidikan Aceh bahkan nasional pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Dari sana diharapkan tumbuh kaum intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual yang kuat.
Eksistensi dayah tidak bisa dilepaskan dari peran negara. Ranah kultural yang digeluti dayah selama ini menjadi landasan yang sangat berarti bagi eksistensi negara khususnya daerah Aceh. Perjuangan dayah baik secara fisik maupun secara kultural tidak bisa dihapus dari catatan sejarah Aceh. Dan kini generasi santri tersebut mulai memasuki jabatan-jabatan publik (pemerintah), baik eksekutif maupun legislatif yang dulunya hanya sebatas mimpi.
Landasan kultural yang ditanamkan kuat di dayah diharapkan menjadi guidence dalam implementasi berbagai tugas baik pada ranah sosial, ekonomi, hukum, maupun politik. Baik di lembaga pemerintahan maupun swasta yang konsisten, transparan, dan akuntabel. Ini penting karena dayah merupakan kawah candratimuka bagi munculnya agent of social change. Dan daerah khususnya Aceh sangat berkepentingan atas tumbuhnya generasi yang mumpuni dan berkualitas. Oleh sebab itu, kepedulian dan perhatian pemerintah bagi perkembangan dayah sangat diperlukan.
Kalau selama ini dayah telah menyumbangkan seluruh dayanya untuk kepentingan masyarakat, maka harus ada simbiosis mutualisme antara keduanya. Sudah waktunya pemerintah memberikan perhatian serius atas kelangsungan dayah. Kalau selama ini dayah bisa eksis dengan swadaya, maka eksistensi tersebut akan lebih maksimal apabila didukung oleh pemerintah dengan serius. Badan Dayah yang kini ada Aceh, bukan hanya sekadar menambah SKPA di jajaran Pemerintah Aceh, melainkan harus benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya dalam memajukan dayah-dayah yang ada di daerah ini.
Oleh sebab itu, diperlukan revitalisasi relasi antara dayah dan pemerintah yang selama ini berjalan apa adanya. Tapi di sini perlu digaris bawahi bahwa revitalisasi relasi antara pemerintah dan dayah adalah relasi yang sebenarnya, bukan relasi yang hanya kepentingan waktu pilkada dan pemilu sudah di ambang pintu, yang berlomba-lomba mendatangi dayah, mendekati pimpinan dayah agar mulus perjalanannya menuju apa yang diinginkan, dan bahkan supaya mulus untuk duduk di periode selanjutnya. Atau sebaliknya dari unsur pimpinan dayah sendiri atau dari kalangan dayah yang membawa nama dayah untuk menuju kepentingan kelompok dan pribadi demi ambisi meraih kekuasaan.
Selama ini sistem pendidikan kita belum sepenuhnya ditangani secara maksimal. Beberapa departemen melaksanakan pendidikannya sendiri (kedinasan) sesuai dengan arah dan orientasi departemen masing-masing. Sejatinya pendidikan di sebuah negara maupun daerah berada dalam sebuah sistem terpadu sehingga menghasilkan output yang maksimal bagi kepentingan bersama (nasional), bukan hanya kepentingan sektoral. Inilah satu problem yang dihadapi sistem pendidikan kita saat ini.
Terpencarnya penyelenggaraan pendidikan menyebabkan banyak masalah. Salah satunya adalah alokasi anggaran yang tidak maksimal. Selama ini pemerintah memandang pendidikan sebagai bagian dari Dinas Pendidikan. Oleh sebab itu, seluruh anggaran pendidikan dialokasikan untuk dinas pendidikan. Konsekuensinya pendidikan di bawah departemen atau dinas lain mendapatkan alokasi dana seadanya.
Kenyataan tersebut tentu merupakan konsekuensi dari paradigma struktural yang melihat pendidikan hanya merupakan tanggung jawab dinas pendidikan. Kita bisa menyaksikan kesenjangan dana yang diterima Kemenag dan Badan Dayah atau antara perguruan tinggi Islam seperti UIN yang di bawah kendali Kemenag dengan perguruan tinggi umum yang langsung ditangani Kemendiknas, perbedaannya sangat jauh.
Begitu pun dayah, yang selama ini eksistensinya lebih bersifat swadaya akan lebih maksimal apabila dikelola dengan pendanaan dan pembinaan yang lebih memadai. Apalagi saat ini dayah mulai menyesuaikan diri dengan pendidikan umum dan standar pendidikan nasional, termasuk mendirikan sekolah umum. Maka, sudah sepantasnyalah pendidikan dayah disetarakan dengan pendidikan lainnya.
Eksistensi dayah di tengah pergulatan modernitas saat ini tetap signifikan. Dayah yang secara historis mampu memerankan dirinya sebagai benteng pertahanan dari penjajahan, kini seharusnya dapat memerankan diri sebagai benteng pertahanan dari imperialisme budaya yang begitu kuat menghegemoni kehidupan masyarakat, khususnya di perkotaan.
Dayah tetap menjadi pelabuhan bagi generasi muda agar tidak terseret dalam arus modernisme yang menjebaknya dalam kehampaan spiritual. Keberadaan dayah sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Namun akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut dayah untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan.
Masa depan dayah ditentukan oleh sejauh mana dayah menformulasikan dirinya menjadi dayah yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya. Langkah ke arah tersebut, tampaknya, telah dilakukan dayah melalui sikap akomodatifnya terhadap perkembangan teknologi modern dengan tetap menjadikan kajian agama sebagai rujukan segalanya. Kemampuan adaptatif dayah atas perkembangan zaman justru memperkuat eksistensinya sekaligus menunjukkan keunggulannya.
III. Ulama dan perannya pada masa kesultanan
Islam telah menjadi dasar negara bagi Kerajaan Islam Bandar Aceh Darussalam sejak dari masa sultan pertamanya, ‘Alī Mughāyat Syāh (919-937 H/1514-1530 M). Menurut Ibrahim Alfian, undang-undang dasar kala itu adalah kitab Tazkirāt al-Tabāqāt al-Qanūn al-Syar‘ī Kerajaan Aceh yang naskahnya telah ditemukan di Kampung Kedah, Banda Aceh. Manuskrip tersebut disusun oleh al-Syaykh Syams al-Bahr. Lalu disalin kembali oleh Teungku Di Mulek (Sayyid ‘Abd Allāh al-Jamāl al-Layl), pada tahun 1272 H/1855 M, atas titah Tuanku Ibrāhīm, al-Mulaqqab Paduka Sri Sultan ‘Alā’ al-Dīn Mansūr Syāh (1858-1870 M). Disebutkan; telah berdiri Kerajaan Aceh Bandar Dār al-Salām pada 12 Rabiulawal 913 H dan Pohon Kerajaaan di-istihar-kan oleh Paduka Sri Sultan ‘Alā’ al-Dīn Johan ‘Alī Ibrāhīm Mughāyat Syāh.
Dilihat dari judulnya (Tazkirāt al-Tabāqāt al-Qanūn al-Syar‘ī Kerajaan Aceh), manuskrip ini merupakan undang-undang dasar tertulis sebagai maklumat tentang ketentuan hukum yang dijalankan di Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam pembukaan jelas disebutkan nama negerinya yaitu Aceh, bentuk pemerintahannya (kerajaan), ideologi negaranya (Islam Sunni), dan ketentuan hukumnya (Mazhab al-Syāfi‘ī). Bahkan ada penegasan bahwa ketentuan lainnya diatur oleh adat, reusam, dan qanun selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Sampai di sini terlihat bahwa sistem pemerintahan di Aceh berbeda dari umumnya kerajaan, karena hukum dalam kerajaan adalah titah raja itu sendiri. Sedangkan sultan di Aceh tidak membuat hukum, ia hanya menjalankan hukum Islam mazhab Syāfi‘ī, serta adat dan reusam. Selain itu, kalimat “syara‘ kami bernaung di bawah panji-panji syarī‘at Nabi Muhammad saw. dari dunia sampai akhirat dan dalam dunia sepanjang masa,“ menunjukkan bahwa sultan memikul tanggung jawab religius dalam menjalankan tugas.
Dengan adanya undang-undang dasar ini terlihat betapa Kerajaan Bandar Aceh Darussalam telah lebih maju dibanding kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Bahkan dalam abad XVI ini dunia internasional masih tenggelam dalam kuasa absolut para raja. Lalu benih-benih pemikiran renaissance baru muncul di Eropa pada paruh akhir abad XVI. Sementera di Kesultanan Aceh Darussalam telah digunakan hukum yang jelas, artinya hukum di Aceh bukan lagi titah raja itu sendiri. Di samping itu Aceh Darussalam telah memakai ideologi Islam sebagai rekatan sosialnya di tengah masyarakat primordial Nusantara yang masih mengandalkan ikatan keluarga (marga, pen.).
Capaian kemajuan di atas adalah buah karya para ulama Aceh yang berjasa menyusun undang-undang dasar bagi Kesultanan Aceh Darussalam. Tentunya patut disimpulkan bahwa para ulama di Aceh kala itu menguasai dengan baik ilmu politik Islam (al-siyasat al-syar‘iyyah).
Peran para ulama di Aceh dalam hal merumuskan undang-undang dasar Kesultanan Aceh terus berlanjut. Hal ini terbukti dengan adanya undang-undang dasar yang baru di masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), yaitu undang-undang yang disebut Adat Meukuta Alam.
Sejarawan menulis bahwa undang-undang yang telah ada sebelum Sultan Iskandar Muda kurang berhasil menyatukan seluruh suku yang ada di Aceh sehingga disebut adat “plakpleung. Kesulitan untuk merumuskan undang-undang dasar yang menyatukan semua suku ini dikarenakan kuatnya isme dari masing-masing suku. Di sisi lain lemahnya kemampuan sultan dalam mengatasi perseteruan yang timbul antar klan juga ikut memengaruhi. Suku-suku ini sangat kuat mempertahankan adat istiadatnya yang sebagian dipengaruhi oleh peradaban Hindu. Oleh karena itu pelembagaannya tidak mudah disatukan, apalagi hendak memasukkan peradaban baru (Islam).
Kondisi di atas memotivasi Sultan Iskandar Muda untuk menyusun undang-undang yang baru. Menurut KFH. van Langen, Iskandar Muda adalah pencipta buku undang-undang dasar yang dikenal dengan Adat Meukuta Alam. Buku ini berisi peraturan-peraturan mengenai pemerintahan Kerajaan Aceh. Jadi butuh waktu hampir satu abad untuk mendudukkan semua suku di bawah satu payung hukum, Undang-undang Dasar Kesultanan Aceh; Adat Meukuta Alam.
Pasal kesatu Adat Meukuta Alam menegaskan wilayah teritorial kerajaan Aceh, bahwa daerah Aceh Besar adalah inti kerajaan Aceh yang dibagi dalam tiga sagi, dan karenanya disebut Aceh Lhe Sagoe. Sedangkan wilayah lainnya merupakan daerah taklukan yang memiliki hak otonomi mengelola wilayahnya. Lalu mengenai dasar hukum tata negara Aceh tercantum dalam pasal 7, setelah ketetapan tentang tugas-tugas hulubalang. Adat Meukuta Alam menggariskan agar keadilan dalam negeri dipelihara dengan mengikuti syarak Nabi Muhammad serta menjauhi maksiat. Pasal ini juga diikuti dengan ancaman gugurnya jabatan jika uleebalang–sebagai wakil sultan–ternyata melanggar ketentuan hukum ini.
Pasal di atas menjadi payung hukum berlakunya hukum Islam di Kerajaan Aceh masa Sultan Iskandar Muda. Bentuk konkretnya tercermin dari pasal 35, dan 36 Adat Meukuta Alam, yaitu; “Yang merampas itu telah lari keluar dari dalam tiga sagi negeri Aceh maka tiada boleh berbalik ke dalam tiga sagi negeri Aceh.” Dan “Jikalau yang merampas berbalik masuk dalam tiga sagi negeri Aceh maka wajiblah hulubalang menangkap dan memotong tangannya.”
Manuskrip lain yang juga undang-undang dasar Kerajaan Bandar Aceh Darussalam adalah Syarh Tazkirah Tabaqāt, ditulis oleh Teungku Di Mulek. Kitab ini ditulis dalam masa kekuasaan Sultan ‘Alā’ al-Dīn Mansūr Syāh (1858-1870 M). Karya ini merupakan komentar (syarh) terhadap Qanun Meukuta ‘Alam yang ditulis pada masa Iskandar Muda. Jadi ada tiga manuskrip yang secara jelas merupakan undang-undang dasar Kerajaan Bandar Aceh Darussalam, dan ketiganya menegaskan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku di Aceh.
Tazkirāt al-Tabāqāt al-Qanūn al-Syar‘ī Kerajaan Aceh
Ditulis pada masa‘Alī Mughāyat Syāh (919-937 H/1514-1530 M)
Jarak waktu ± 100 tahun
Adat Meukuta ‘Alam
Ditulis pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M)
Jarak waktu ± 150 tahun
Syarh Tazkirah Tabaqāt komentar (syarh) terhadap Qanun Meukuta‘Alam
Ditulis pada masa Sultan ‘Alā’ al-Dīn Mansūr Syāh (1858-1870 M)
Ketiga kitab undang-undang di atas menjadi dasar keberlakuan syariat Islam di Aceh masa kesultanan. Di bawah payung hukum inilah para ulama Aceh mencurahkan segenap upayanya bagi pengimplementasian syariat Islam. Untuk memberikan gambaran menyeluruh, berikut ini ditabulasikan nama-nama ulama yang dapat penulis ketahui, dibuat urutan sesuai masa berkiprahnya. Nama-nama ini diletakkan dalam masa pemerintahan sultan yang berkuasa, agar memudahkan melihat pengaruh masing-masing ulama terhadap penguasa.
Para ulama yang berkiprah di Kerajaan Bandar Aceh Darussalam
No.
Sultan
Masa
Tahun
Ulama
1
‘Alī Mughāyat Syāh
16 th.
1514-1530 M
Al-Syaykh Syams al-Bahr
2
Salāh al-Dīn
7 th.
1530-1537 M
3
‘Alā’ al-Dīn Ri‘āyat Syāh, bergelar al-Qahhār
33 th.
1537-1571 M
Teungku Di Bitai, Ulama dari Turki-Suriah, berasal dari Bayt-al-Maqdis, Jerussalem
4
Husayn ‘Alī Ri‘āyat Syāh
8 th.
1571-1579 M
Muhammad Azharī, atau Syaykh Nūr al-Dīn
5
Sultan Muda (umur 4 bln.)
7 bln.
w. 1579 M
6
Sri ‘Ālam (Raja Priaman)
-
w. 1579 M
7
Zayn al-‘Ābidīn
-
w. 1579 M
8
‘Alā’ al-Dīn Mansūr Syāh
7 th.
1579-1586 M
  • § Syaykh Abū al-Khayr ibn Syaykh ibn Hajar, penulis kitab Sayf al-Qāti‘
  • § Syaykh Muhammad Yamānī
  • § Syaykh Muhammad Jaylanī ibn Hasan ibn Muhammad Hamīd
  • § Hamzah Fansūrī
9
‘Alā’ al-Dīn Ri‘āyat Syāh
3 th.
1586-1589 M
Syaykh Muhammad Jaylanī ibn Hasan ibn Muhammad Hamīd kembali ke Aceh
10
‘Alī’ Mughāyat Syāh, bergelar al-Mukammil
5 th.
1589-1604 M
Bukhārī al-Jawharī
11
‘Alī Ri‘āyat Syāh
3 th.
1604-1607 M
-
12
Iskandar Muda
29 th.
1607-1636 M
  • § Syams al-Dīn al-Sumatranī
  • § Syaykh Ibrāhīm al-Syam
13
Iskandar Thānī
5 th.
1636-1641 M
Nūr al-Dīn al-Rānirī
14
Safiyyat al-Dīn
34 th.
1641-1675 M
  • § Sayf al-Rijāl
  • § ‘Abd al-Ra’ūf al-Sinkilī
Tabulasi ini penulis batasi sampai masa Sultanah Safiyat al-Dīn, sebab seperti disimpulkan Amirul Hadi, bahwa al-Mukammil, Iskandar Muda, dan Safiyyat al-Dīn adalah tokoh yang sering mengambil model penerapan adat kerajaan (royal adat) dalam konteks raja sebagai pembuat hukum (law maker). Dengan demikian peran ijtihad kreatif para ulama akan terlihat dengan jelas karena berhadapan langsung dengan tantangan yang muncul dari kecenderungan meneruskan adat kerajaan.
Bab III Saran Dan Pesan
Melihat kondisi Aceh hari ini dengan kemajuan dalam pelbagai sector sehingga ditakuti terjadinya pergesaran nilai- nilai baik yang telah ditanamkan oleh para pendahulu Aceh sejak dahulu kala maka pemerintah seyogiyanya melakukan trobosan- trobosan langkah- langkah antisipasi untuk mengembalikan pendidikan dayah yang telah eksis sejak zaman dahulu sehingga berjalan dimasa- masa sekarang ini sesuai dengan apa yang telah ditinggalkan leluhur kita dizaman dahulu terus kita lanjutkan dan pertahankan, hal ini penting dilakukan demi terciptanya Aceh seperti yang berjaya dimasa dulu. Menurut yang penulis cermati perlu adanya usaha keras dan melakukan langkah- langkah dan upaya- upaya sehingga peserta didik terlahir sebagai seorang bermodalkan iman dan islam yang benar.
Ukuran keberhasian peserta didik masa lalu diukur dari pengakuan public yang menghasilkan wibawa piskologis bukan wibawa fungsional semata. Yang bisa menghindari dari regitimasi palsu .
Adapun upaya- upaya yang mesti kita lakukan menurut yang penulis kaji,
  • Kerjasama pemerintah dan ulama untuk melahirkan kekuatan bangsa kedepan
  • Karakter yang berfonadasikan idologi masyarakat Aceh
  • Melahirkan lulusan yang Entrepreneurship yang tidak beroreantasi pada kepemerintahan walaupun itu dibolehkan. Semua ini tidak bisa dilepaskan dari nilai agama. Dikarenakan karakter dan moral dalam historisnya adalah semuanya berasal dari agama.
  • Hari ini di Aceh harus lahir sebuah pendidikan yang mengadopsi semua nilai- nilai positif yang ada didalam pendidikan ulama dan pendidikan umum yang semua pengelolaannya tidak lepas dari arahan ulama sebanyak mungkin, dalam semua tingkatan dan bidang. Perlu lahirnya dayah tinggi yang mengadopsi saint dalam cultur dayah. Dayah yang mengembangkan sain. Dan menjadi program pemerintah monumental
  • Memposisikan ulama menjadi mitra umara yang serius, tidak hanya untuk kepentingan politik tapi juga sebagai pengarah yang mempengaruhui setiap kebijakan.
  • Pemerintah melakukan kebijakan- kebijakan yang mendidik. Semacam melahirkan kelompok- kelompok masyarakat yang menjadi model bagi pembangunan bangsa yang dicita- citakan.
  • Supaya tubuh semangat untuk bangkit menangani situasi- situasi yang tidak menentu dan memberikan arahan serta penjelasan kepada umara, mempererat tali silaturrahim antar sesama ulama demi terciptanya pemerintah dan masyarakat yang madani.
  • Ulama mesti mempertahankan dan mengamati dari perjalanan sejarah ulama dahulu sebagai perancang dan pemikir dan mencari solusi maka merupakan sebuah kewajiban mempertahankannya dan mengikuti hal itu.
Bab IV Penutup
Eksistensi dayah menjadi istimewa karena ia menjadi pendidikan alternatif (penyeimbang) dari pendidikan yang dikembangkan oleh kaum kolonial (Barat) yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Dayah menjadi tempat berlabuh umat Islam yang tersingkir secara budaya (pendidikan) akibat perlakuan diskriminatif penjajah.
Kini perkembangan dayah dengan sistem pendidikannya mampu mensejajarkan diri dengan pendidikan lain pada umumnya. Kenyataan ini menjadi aset yang luar biasa baik bagi perkembangan pendidikan dayah maupun pendidikan Aceh bahkan nasional pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Dari sana diharapkan tumbuh kaum intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual yang kuat.
Eksistensi dayah tidak bisa dilepaskan dari peran negara. Ranah kultural yang digeluti dayah selama ini menjadi landasan yang sangat berarti bagi eksistensi negara khususnya daerah Aceh. Perjuangan dayah baik secara fisik maupun secara kultural tidak bisa dihapus dari catatan sejarah Aceh. Dan kini generasi santri tersebut mulai memasuki jabatan-jabatan publik (pemerintah), baik eksekutif maupun legislatif yang dulunya hanya sebatas mimpi.
Landasan kultural yang ditanamkan kuat di dayah diharapkan menjadi guidence dalam implementasi berbagai tugas baik pada ranah sosial, ekonomi, hukum, maupun politik. Baik di lembaga pemerintahan maupun swasta yang konsisten, transparan, dan akuntabel. Ini penting karena dayah merupakan kawah candratimuka bagi munculnya agent of social change. Dan daerah khususnya Aceh sangat berkepentingan atas tumbuhnya generasi yang mumpuni dan berkualitas. Oleh sebab itu, kepedulian dan perhatian pemerintah bagi perkembangan dayah sangat diperlukan.
Kalau selama ini dayah telah menyumbangkan seluruh dayanya untuk kepentingan masyarakat, maka harus ada simbiosis mutualisme antara keduanya. Sudah waktunya pemerintah memberikan perhatian serius atas kelangsungan dayah. Kalau selama ini dayah bisa eksis dengan swadaya, maka eksistensi tersebut akan lebih maksimal apabila didukung oleh pemerintah dengan serius. Badan Dayah yang kini ada Aceh, bukan hanya sekadar menambah SKPA di jajaran Pemerintah Aceh, melainkan harus benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya dalam memajukan dayah-dayah yang ada di daerah ini.
Oleh sebab itu, diperlukan revitalisasi relasi antara dayah dan pemerintah yang selama ini berjalan apa adanya. Tapi di sini perlu digaris bawahi bahwa revitalisasi relasi antara pemerintah dan dayah adalah relasi yang sebenarnya, bukan relasi yang hanya kepentingan waktu pilkada dan pemilu sudah di ambang pintu, yang berlomba-lomba mendatangi dayah, mendekati pimpinan dayah agar mulus perjalanannya menuju apa yang diinginkan, dan bahkan supaya mulus untuk duduk di periode selanjutnya. Atau sebaliknya dari unsur pimpinan dayah sendiri atau dari kalangan dayah yang membawa nama dayah untuk menuju kepentingan kelompok dan pribadi demi ambisi meraih kekuasaan.
Selama ini sistem pendidikan kita belum sepenuhnya ditangani secara maksimal. Beberapa departemen melaksanakan pendidikannya sendiri (kedinasan) sesuai dengan arah dan orientasi departemen masing-masing. Sejatinya pendidikan di sebuah negara maupun daerah berada dalam sebuah sistem terpadu sehingga menghasilkan output yang maksimal bagi kepentingan bersama (nasional), bukan hanya kepentingan sektoral. Inilah satu problem yang dihadapi sistem pendidikan kita saat ini.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik (ed.). Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali, bekerjasama dengan Yayasan Ilmu Ilmu Sosial [YIIS] 1983.
Majalah Santri Dayah (Media Dakwah Santri Dayah)
Makalah Prof. DR. Tgk. H. Muslim Ibrahim
Wikipedia
Abdul Jalil, Tuanku. Adat Meukuta Alam. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1991.
Ahmad ibn Hanbal. Musnad al-Imām Ahmad ibn Hanbal. Beirut: Dār al-Sādir, t.th.
Ahmad, Zakaria. Sekitar Kerajaan Atjeh dalam Tahun 1520-1675. Medan: Monora, 1972.
Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah. Jakarta: Sinar Harapan, 1987.
Alfian, Ibrahim. Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2004.
Bin Zaghībah, ‘Izz al-Dīn. Al-Maqāsid al-‘Āmmah li al-Syarī‘at al-Islāmiyyah. Kairo: Dār al-Safwah, 1996.
Al Chaidar. Gerakan Aceh Merdeka, Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam. t.tp.: Madani Press, cet. II, 2000.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Mizan, 1994.
Daud, Darni (ed.). Qanun Meukuta Alam; Dalam Syarah Tadhkirah Tabaqât Tgk. Di Mulék dan Komentarnya. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2010.
Depdiknas. Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1984.
Djajadiningrat, Hoesein. Kesultanan Aceh. Banda Aceh: Depdikbud, 1983.
Fathurrahman, Oman. Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee Aceh Besar. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.
Gade Ismail, Muhammad. Pasai dalam Perjalanan Sejarah: Abad Ke-13 Sampai Awal Abad Ke-16. Jakarta: Depdikbud, 1993.
Al-Ghazālī. Al-Mustasfā fī ‘Ilm al-Usūl. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
Al-Ghazālī. Asās al-Qiyās. Riyad: Maktabah al-‘Ubaykān, 1993.
Amirul Hadi. Respons Islam terhadap Hegemoni Barat: Aceh vs Portugis 1500-1579. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2006.
Hadi, Amirul. Aceh; Sejarah, Budaya, dan Tradisi. Jakarta: Obor, 2010.
Hurgronje, Snouck. De Atjèhers, terj. Sutan Maimoen, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya. Jakarta: INIS, 1996.
Hurgronje, Snouck. Achehnese, terj. Ng. Singarimbun. Jakarta: Soko Guru, 1985.
Iskandar, Teuku. De Hikajat Atjéh. Belanda: ‘S-Gravenhage-Martinus Nijhoff, 1958.
Iskandar, Teuku. Nūr al-Dīn al-Rānirī; Bustān al-Salātin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966.
Al-Juwaynī. Al-Burhān fī Usūl al-Fiqh. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997.
Khallāf, ‘Abd al-Wahhāb. ‘Ilm al-Usūl al-Fiqh, cet. 12. Kuwait: Dār al-Kalām, 1978.
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda, terj. Winarsih Arifin. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Panitia Penyelenggara MTQN 12. Dari Sini Ia Bersemi. Banda Aceh: Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, 1981.
Al-Qurtubī. Al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur‘ān. Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, t.th.
Reid, Anthony. Perjuangan Rakyat; Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Reid, Anthony. Sumatera Tempo Doeloe: dari Marco Polo sampai Tan Malak. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.
Said, Mohammad. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Waspada, cet. II, 1981.
Saleh, Hasan. Revolusi Islam di Indonesia. Darussalam: Pustaka Djihad, 1956.
Sardono. W. Kusumo (ed.). Aceh Kembali ke Masa Depan. Jakarta: IKJ Press, 2005.
Soehino. Ilmu Negara, cet. 7. Yogyakarta: Liberty, 2005.
Al-Syāfi‘ī. Al-Risālah fī al-Usūl al-Fiqh, Tahqīq; Ahmad Muhammad Syākir. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
Van Langen. KFH. Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, alih bahasa: Aboe Bakar. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1997.
William, H. Frederick dan Soeri Soeroto (Penyunting). Pemahaman Sejarah Indonesia, cet. 3. Jakarta: LP3ES, 1991.
Zainuddin, H. M. Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961.
Share this article :
 
Desainer: Abiya
Copyright © 2014. Dayah Mahyal Ulum Al-Aziziyah
Sekretariat: Jl. Banda Aceh-Medan Km.16,8 Sibreh Aceh Besar