Oleh: Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab (Ayah Jeunib)
Ketua I. PB. HUDA Aceh
Pimpinan Dayah Babussalam Jeunib
Aceh sebagai wilayah pertama yang
menerima kehadiran Islam dikawasan Asia Tenggara sejak abad pertama
Hijriah, merupakan kawasan dimana masyarakatnya memiliki karakteristik
tersendiri. Keunikan karakteristik ini disebabkan oleh pengaruh Islam
yang sangat kuat dalam proses pembentukan budaya rakyat Aceh. Bahkan
Islam menjadi asas bagi pembinaan budaya itu sendiri. Keadaan tersebut
dapat terus bertahan karena kesadaran masyarakat yang tinggi dalam
menjalankan dan menjaga nilai-nilai agama.
Benteng yang paling berjasa dalam proses
pertahanan budaya masyarakat tersebut adalah lembaga pendidikan yang
disebut “DAYAH” juga disertai dengan perjuangan ‘alim ulama. Kata Dayah
adalah kutipan dari bahasa arab yaitu “Zawiyah” Rumah Arqam Bin Abi
Arqam tempat Rasulullah SAW mengajarkan para sahabatnya, Kata Zawiyah
berpemahan majlis pengajian. Kata itu kemudian berubah sesuai dengan
dialek bahasa Aceh menjadi Dayah. Dalam perkembangan selanjutnya Dayah
dalam terminologi orang Aceh adalah sebuah lembaga pendidikan Islam yang
berperan aktif membina keteguhan keimanan, akhlaq, semangat, jihad dan
keilmuan masyarakat.
Dimasa kejayaan Iskandar Muda, Dayah
menjadi lembaga pendidikan resmi, yang mencetak aparatur pemerintahan
karajaan. Namun kemudian dimasa kemerdekaan, peran Dayah diganti oleh
sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah sesuai dengan perkembangan
masa dan kebutuhan. Dalam kondisi ini Dayah sebagai lembaga pendidikan
tertua tetap mampu eksis dibawah asuhan Ulama. Sistem pendidikan Dayah
yang tidak memungut biaya pendidikan menjadikan Dayah lebih akrab dengan
masyarakat kelas bawah. Masyarakat yang merupakan mayoritas bangsa ini
dan berada dilini terdepan dan paling rentan terhadap pengaruh negetif
budaya asing.
Tantangan modernisasi/westernisasi sejak
zaman penjajahan sampai sekarang tidak dapat dihindari. Kondisi
fenomenal ini telah mengikis budaya Islami masyarakat, terutama genarasi
mudanya. Disinilah peran Dayah terbukti mampu memberikan Basis Moral
Islami yang kuat bagi generasi muda sehingga mareka memiliki filter
dalam menghadaapai arus modernisasi.
Kesadaran masyarakat akan fakta di atas
telah memunculkan komitmen para Ulama untuk melestartikan eksistensi
lembaga Dayah. komitmen tersebut juga diikuti partisipasi masyarakat
yang besar. Hal ini dibuktikan oleh besarnya animo masyarakat agar
anaknya sempat mengecap pendidikan Dayah.
II. Tujuan Penulisan
Dalam rangka musyawarah besar ke II
Himpunan Ulama Dayah Aceh (Huda) dan seminar Internasioanal penulis
ingin menyampaikan peran aktif ulama dan dayah dalam rangka melanjutkan
nilai- nilai yang terdapat dalam Islam dan mendidik umat kejalan yang
benar, membentengi ‘aqidah, menanamkan moral serta partisipasi ulama dan
dayah dalam membangun masyarakat yang ta’at beragama dan bernegara
tidak terlepas pula peran ulama dan dayah dalam perjalan roda
kepemerintahan serta lini- lini yang lain.
Bab II Pembahasan
I. Pengertian Dayah
Dayah (dalam bahasa Arab; زاوية zawiyah.
Artinya sudut, karena pengajian pada masa Rasulullah dilakukan di
sudut-sudut mesjid) adalah kata yang digunakan untuk sebuah lembaga
pendidikan Islam di Aceh (di pulau Jawa disebut pesantren, asal kata
“pe-santri-an”. Artinya tempat para santri menetap dan menimba ilmu).
Dayah di Aceh merupakan lembaga
pendidikan tradisional Islam yang bertujuan untuk membimbing anak didik
(Aneuk Dayah, santri) untuk menjadi manusia yang berkepribadian islami,
yang sanggup menjadi umat yang berguna bagi bangsa dan negara serta
agama. Diharapkan dari dayah lahir insan-insan yang menekankan
pentingnya penerapan akhlak agama Islam yang merupakan pedoman hidup
bermasyarakat sehari-hari.
Bila ditinjau dari sudut historis
kultural, dayah di Aceh dapat dikatakan sebagai pusat pelatihan yang
secara otomatis menjadi pusat budaya Islam yang disahkan atau
dilembagakan oleh masyarakat di Aceh.
Dayah-dayah di Aceh dapat dikatakan
sebagai “bapak” dari pendidikan Islam yang didirikan berdasarkan
tuntutan dan kebutuhan zaman, yang mana dayah dilahirkan atas kesadaran
kewajiban islamiah, yaitu menyebarkan dan mengembangkan agama Islam,
sekaligus mencetak kader-kader ulama, da’I dan pemimpin- pemimpin yang
beragama.
Tidak sedikit ulama-ulama dayah yang
terkenal, baik dari segi keilmuannya juga dari sumbangsihnya kepada
negara. Banyak ulama-ulama Aceh yang syahid, gugur di medan perang
melawan penjajah, membela negara dan tanah air, seperti Teungku Chik Di
Tiro, Teungku Chik Kuta Karang, Teungku Fakinah dan seumpama beliau.
Mereka ini adalah insan pilihan yang merupakan hasil dari didikan dayah.
Sekarang sudah banyak dayah-dayah di
Aceh, dari berbagai jenis. Dayah Salafiyah masih bertahan dengan sistem
pendidikan yang diwariskan turun-temurun dari satu generasi ke generasi.
banyak contoh dayah terbaik dengan system diatas.
Kebanyakan dari dayah tradisional masih
dikelola oleh seorang pimpinan dayah yang bila sudah wafat kemudian
digantikan oleh pimpinan yang lain setelahnya, biasanya digantikan oleh
anak-anak dari pimpinan dayah tersebut, atau juga dapat digantikan oleh
menantu dan mungkin juga kerabat yang lain. Ini dikarenakan dayah
tradisional di Aceh kebanyakannya milik pribadi seseorang pimpinan dayah
atau milik orang lain yang dikelola oleh seorang teungku chik atau abu
pimpinan dayah.
Di Aceh juga terdapat dayah/pesantren
terpadu, dimana lembaga yang satu ini sudah menyelenggarakan kegiatan
pembelajaran yang lebih modern, dengan fasilitas yang lebih maju,
manajemen yang teratur. Dengan penambahan-penambahan pada materi
pendidikannya, bahkan menyamai sekolah.
II. Eksitensi Dayah
Dayah adalah satu-satunya lembaga
pendidikan yang sudah sangat mengakar sejak Islam bertapak di Aceh pada
abad pertama Hijriah. Dayah menjadi pusat dari pembahasan mengenai
pendidikan Islam dalam konteks masyarakat Aceh baik di masa lalu maupun
masa sekarang.
Penulis meyakini bahwa pemimpin-pemimpin
Aceh masa lalu termasuk Sultan Iskandar Muda adalah sosok yang juga
mengenyam pendidikan dayah sebelum menjadi penguasa, walaupun tidak ada
catatan yang lebih rinci mengenai hal ini yang bisa ditemui dalam
literatur-literatur sejarah Aceh yang ada. Dayah masa lalu sukses
mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama dengan baik.
Karena itu, dayah tidak hanya menghasilkan ulama saja, tapi juga
politikus maupun negarawan yang berpengaruh.
Secara historis, dayah merupakan lembaga
pendidikan yang multifungsi. Ia menjadi benteng pertahanan sekaligus
pusat penyiaran (dakwah) Islam. Selain dayah salafiah (dayah
tradisional), dalam perkembangannya dayah mencatat kemajuan dengan
munculnya dayah-dayah baru dan dilaksanakannya sistem pendidikan
madrasah yang mengajarkan pelajaran umum, seperti sejarah, matematika,
dan ilmu bumi, yang sekarang disebut dengan dayah modern atau dayah
terpadu.
Eksistensi dayah menjadi istimewa karena
ia menjadi pendidikan alternatif (penyeimbang) dari pendidikan yang
dikembangkan oleh kaum kolonial (Barat) yang hanya bisa dinikmati oleh
segelintir orang. Dayah menjadi tempat berlabuh umat Islam yang
tersingkir secara budaya (pendidikan) akibat perlakuan diskriminatif
penjajah.
Kini perkembangan dayah dengan sistem
pendidikannya mampu mensejajarkan diri dengan pendidikan lain pada
umumnya. Kenyataan ini menjadi aset yang luar biasa baik bagi
perkembangan pendidikan dayah maupun pendidikan Aceh bahkan nasional
pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Dari sana diharapkan
tumbuh kaum intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual
yang kuat.
Eksistensi dayah tidak bisa dilepaskan
dari peran negara. Ranah kultural yang digeluti dayah selama ini menjadi
landasan yang sangat berarti bagi eksistensi negara khususnya daerah
Aceh. Perjuangan dayah baik secara fisik maupun secara kultural tidak
bisa dihapus dari catatan sejarah Aceh. Dan kini generasi santri
tersebut mulai memasuki jabatan-jabatan publik (pemerintah), baik
eksekutif maupun legislatif yang dulunya hanya sebatas mimpi.
Landasan kultural yang ditanamkan kuat di
dayah diharapkan menjadi guidence dalam implementasi berbagai tugas
baik pada ranah sosial, ekonomi, hukum, maupun politik. Baik di lembaga
pemerintahan maupun swasta yang konsisten, transparan, dan akuntabel.
Ini penting karena dayah merupakan kawah candratimuka bagi munculnya
agent of social change. Dan daerah khususnya Aceh sangat berkepentingan
atas tumbuhnya generasi yang mumpuni dan berkualitas. Oleh sebab itu,
kepedulian dan perhatian pemerintah bagi perkembangan dayah sangat
diperlukan.
Kalau selama ini dayah telah
menyumbangkan seluruh dayanya untuk kepentingan masyarakat, maka harus
ada simbiosis mutualisme antara keduanya. Sudah waktunya pemerintah
memberikan perhatian serius atas kelangsungan dayah. Kalau selama ini
dayah bisa eksis dengan swadaya, maka eksistensi tersebut akan lebih
maksimal apabila didukung oleh pemerintah dengan serius. Badan Dayah
yang kini ada Aceh, bukan hanya sekadar menambah SKPA di jajaran
Pemerintah Aceh, melainkan harus benar-benar menjalankan tugas dan
fungsinya dalam memajukan dayah-dayah yang ada di daerah ini.
Oleh sebab itu, diperlukan revitalisasi
relasi antara dayah dan pemerintah yang selama ini berjalan apa adanya.
Tapi di sini perlu digaris bawahi bahwa revitalisasi relasi antara
pemerintah dan dayah adalah relasi yang sebenarnya, bukan relasi yang
hanya kepentingan waktu pilkada dan pemilu sudah di ambang pintu, yang
berlomba-lomba mendatangi dayah, mendekati pimpinan dayah agar mulus
perjalanannya menuju apa yang diinginkan, dan bahkan supaya mulus untuk
duduk di periode selanjutnya. Atau sebaliknya dari unsur pimpinan dayah
sendiri atau dari kalangan dayah yang membawa nama dayah untuk menuju
kepentingan kelompok dan pribadi demi ambisi meraih kekuasaan.
Selama ini sistem pendidikan kita belum
sepenuhnya ditangani secara maksimal. Beberapa departemen melaksanakan
pendidikannya sendiri (kedinasan) sesuai dengan arah dan orientasi
departemen masing-masing. Sejatinya pendidikan di sebuah negara maupun
daerah berada dalam sebuah sistem terpadu sehingga menghasilkan output
yang maksimal bagi kepentingan bersama (nasional), bukan hanya
kepentingan sektoral. Inilah satu problem yang dihadapi sistem
pendidikan kita saat ini.
Terpencarnya penyelenggaraan pendidikan
menyebabkan banyak masalah. Salah satunya adalah alokasi anggaran yang
tidak maksimal. Selama ini pemerintah memandang pendidikan sebagai
bagian dari Dinas Pendidikan. Oleh sebab itu, seluruh anggaran
pendidikan dialokasikan untuk dinas pendidikan. Konsekuensinya
pendidikan di bawah departemen atau dinas lain mendapatkan alokasi dana
seadanya.
Kenyataan tersebut tentu merupakan
konsekuensi dari paradigma struktural yang melihat pendidikan hanya
merupakan tanggung jawab dinas pendidikan. Kita bisa menyaksikan
kesenjangan dana yang diterima Kemenag dan Badan Dayah atau antara
perguruan tinggi Islam seperti UIN yang di bawah kendali Kemenag dengan
perguruan tinggi umum yang langsung ditangani Kemendiknas, perbedaannya
sangat jauh.
Begitu pun dayah, yang selama ini
eksistensinya lebih bersifat swadaya akan lebih maksimal apabila
dikelola dengan pendanaan dan pembinaan yang lebih memadai. Apalagi saat
ini dayah mulai menyesuaikan diri dengan pendidikan umum dan standar
pendidikan nasional, termasuk mendirikan sekolah umum. Maka, sudah
sepantasnyalah pendidikan dayah disetarakan dengan pendidikan lainnya.
Eksistensi dayah di tengah pergulatan
modernitas saat ini tetap signifikan. Dayah yang secara historis mampu
memerankan dirinya sebagai benteng pertahanan dari penjajahan, kini
seharusnya dapat memerankan diri sebagai benteng pertahanan dari
imperialisme budaya yang begitu kuat menghegemoni kehidupan masyarakat,
khususnya di perkotaan.
Dayah tetap menjadi pelabuhan bagi
generasi muda agar tidak terseret dalam arus modernisme yang menjebaknya
dalam kehampaan spiritual. Keberadaan dayah sampai saat ini membuktikan
keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Namun akselerasi modernitas
yang begitu cepat menuntut dayah untuk tanggap secara cepat pula,
sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan.
Masa depan dayah ditentukan oleh sejauh
mana dayah menformulasikan dirinya menjadi dayah yang mampu menjawab
tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya. Langkah ke arah
tersebut, tampaknya, telah dilakukan dayah melalui sikap akomodatifnya
terhadap perkembangan teknologi modern dengan tetap menjadikan kajian
agama sebagai rujukan segalanya. Kemampuan adaptatif dayah atas
perkembangan zaman justru memperkuat eksistensinya sekaligus menunjukkan
keunggulannya.
III. Ulama dan perannya pada masa kesultanan
Islam telah menjadi dasar negara bagi
Kerajaan Islam Bandar Aceh Darussalam sejak dari masa sultan pertamanya,
‘Alī Mughāyat Syāh (919-937 H/1514-1530 M). Menurut Ibrahim Alfian,
undang-undang dasar kala itu adalah kitab Tazkirāt al-Tabāqāt al-Qanūn
al-Syar‘ī Kerajaan Aceh yang naskahnya telah ditemukan di Kampung Kedah,
Banda Aceh. Manuskrip tersebut disusun oleh al-Syaykh Syams al-Bahr.
Lalu disalin kembali oleh Teungku Di Mulek (Sayyid ‘Abd Allāh al-Jamāl
al-Layl), pada tahun 1272 H/1855 M, atas titah Tuanku Ibrāhīm,
al-Mulaqqab Paduka Sri Sultan ‘Alā’ al-Dīn Mansūr Syāh (1858-1870 M).
Disebutkan; telah berdiri Kerajaan Aceh Bandar Dār al-Salām pada 12
Rabiulawal 913 H dan Pohon Kerajaaan di-istihar-kan oleh Paduka Sri
Sultan ‘Alā’ al-Dīn Johan ‘Alī Ibrāhīm Mughāyat Syāh.
Dilihat dari judulnya (Tazkirāt
al-Tabāqāt al-Qanūn al-Syar‘ī Kerajaan Aceh), manuskrip ini merupakan
undang-undang dasar tertulis sebagai maklumat tentang ketentuan hukum
yang dijalankan di Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam pembukaan jelas
disebutkan nama negerinya yaitu Aceh, bentuk pemerintahannya (kerajaan),
ideologi negaranya (Islam Sunni), dan ketentuan hukumnya (Mazhab
al-Syāfi‘ī). Bahkan ada penegasan bahwa ketentuan lainnya diatur oleh
adat, reusam, dan qanun selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Sampai di sini terlihat bahwa sistem
pemerintahan di Aceh berbeda dari umumnya kerajaan, karena hukum dalam
kerajaan adalah titah raja itu sendiri. Sedangkan sultan di Aceh tidak
membuat hukum, ia hanya menjalankan hukum Islam mazhab Syāfi‘ī, serta
adat dan reusam. Selain itu, kalimat “syara‘ kami bernaung di bawah
panji-panji syarī‘at Nabi Muhammad saw. dari dunia sampai akhirat dan
dalam dunia sepanjang masa,“ menunjukkan bahwa sultan memikul tanggung
jawab religius dalam menjalankan tugas.
Dengan adanya undang-undang dasar ini
terlihat betapa Kerajaan Bandar Aceh Darussalam telah lebih maju
dibanding kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Bahkan dalam abad XVI ini
dunia internasional masih tenggelam dalam kuasa absolut para raja. Lalu
benih-benih pemikiran renaissance baru muncul di Eropa pada paruh akhir
abad XVI. Sementera di Kesultanan Aceh Darussalam telah digunakan hukum
yang jelas, artinya hukum di Aceh bukan lagi titah raja itu sendiri. Di
samping itu Aceh Darussalam telah memakai ideologi Islam sebagai
rekatan sosialnya di tengah masyarakat primordial Nusantara yang masih
mengandalkan ikatan keluarga (marga, pen.).
Capaian kemajuan di atas adalah buah
karya para ulama Aceh yang berjasa menyusun undang-undang dasar bagi
Kesultanan Aceh Darussalam. Tentunya patut disimpulkan bahwa para ulama
di Aceh kala itu menguasai dengan baik ilmu politik Islam (al-siyasat
al-syar‘iyyah).
Peran para ulama di Aceh dalam hal
merumuskan undang-undang dasar Kesultanan Aceh terus berlanjut. Hal ini
terbukti dengan adanya undang-undang dasar yang baru di masa Sultan
Iskandar Muda (1607-1636 M), yaitu undang-undang yang disebut Adat
Meukuta Alam.
Sejarawan menulis bahwa undang-undang
yang telah ada sebelum Sultan Iskandar Muda kurang berhasil menyatukan
seluruh suku yang ada di Aceh sehingga disebut adat “plakpleung.
Kesulitan untuk merumuskan undang-undang dasar yang menyatukan semua
suku ini dikarenakan kuatnya isme dari masing-masing suku. Di sisi lain
lemahnya kemampuan sultan dalam mengatasi perseteruan yang timbul antar
klan juga ikut memengaruhi. Suku-suku ini sangat kuat mempertahankan
adat istiadatnya yang sebagian dipengaruhi oleh peradaban Hindu. Oleh
karena itu pelembagaannya tidak mudah disatukan, apalagi hendak
memasukkan peradaban baru (Islam).
Kondisi di atas memotivasi Sultan
Iskandar Muda untuk menyusun undang-undang yang baru. Menurut KFH. van
Langen, Iskandar Muda adalah pencipta buku undang-undang dasar yang
dikenal dengan Adat Meukuta Alam. Buku ini berisi peraturan-peraturan
mengenai pemerintahan Kerajaan Aceh. Jadi butuh waktu hampir satu abad
untuk mendudukkan semua suku di bawah satu payung hukum, Undang-undang
Dasar Kesultanan Aceh; Adat Meukuta Alam.
Pasal kesatu Adat Meukuta Alam menegaskan
wilayah teritorial kerajaan Aceh, bahwa daerah Aceh Besar adalah inti
kerajaan Aceh yang dibagi dalam tiga sagi, dan karenanya disebut Aceh
Lhe Sagoe. Sedangkan wilayah lainnya merupakan daerah taklukan yang
memiliki hak otonomi mengelola wilayahnya. Lalu mengenai dasar hukum
tata negara Aceh tercantum dalam pasal 7, setelah ketetapan tentang
tugas-tugas hulubalang. Adat Meukuta Alam menggariskan agar keadilan
dalam negeri dipelihara dengan mengikuti syarak Nabi Muhammad serta
menjauhi maksiat. Pasal ini juga diikuti dengan ancaman gugurnya jabatan
jika uleebalang–sebagai wakil sultan–ternyata melanggar ketentuan hukum
ini.
Pasal di atas menjadi payung hukum
berlakunya hukum Islam di Kerajaan Aceh masa Sultan Iskandar Muda.
Bentuk konkretnya tercermin dari pasal 35, dan 36 Adat Meukuta Alam,
yaitu; “Yang merampas itu telah lari keluar dari dalam tiga sagi negeri
Aceh maka tiada boleh berbalik ke dalam tiga sagi negeri Aceh.” Dan
“Jikalau yang merampas berbalik masuk dalam tiga sagi negeri Aceh maka
wajiblah hulubalang menangkap dan memotong tangannya.”
Manuskrip lain yang juga undang-undang
dasar Kerajaan Bandar Aceh Darussalam adalah Syarh Tazkirah Tabaqāt,
ditulis oleh Teungku Di Mulek. Kitab ini ditulis dalam masa kekuasaan
Sultan ‘Alā’ al-Dīn Mansūr Syāh (1858-1870 M). Karya ini merupakan
komentar (syarh) terhadap Qanun Meukuta ‘Alam yang ditulis pada masa
Iskandar Muda. Jadi ada tiga manuskrip yang secara jelas merupakan
undang-undang dasar Kerajaan Bandar Aceh Darussalam, dan ketiganya
menegaskan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku di Aceh.
Tazkirāt al-Tabāqāt al-Qanūn al-Syar‘ī Kerajaan Aceh
Ditulis pada masa‘Alī Mughāyat Syāh (919-937 H/1514-1530 M)
|
Jarak waktu ± 100 tahun
|
Adat Meukuta ‘Alam
Ditulis pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M)
|
Jarak waktu ± 150 tahun
|
Syarh Tazkirah Tabaqāt komentar (syarh) terhadap Qanun Meukuta‘Alam
Ditulis pada masa Sultan ‘Alā’ al-Dīn Mansūr Syāh (1858-1870 M)
|
Ketiga kitab undang-undang di atas
menjadi dasar keberlakuan syariat Islam di Aceh masa kesultanan. Di
bawah payung hukum inilah para ulama Aceh mencurahkan segenap upayanya
bagi pengimplementasian syariat Islam. Untuk memberikan gambaran
menyeluruh, berikut ini ditabulasikan nama-nama ulama yang dapat penulis
ketahui, dibuat urutan sesuai masa berkiprahnya. Nama-nama ini
diletakkan dalam masa pemerintahan sultan yang berkuasa, agar memudahkan
melihat pengaruh masing-masing ulama terhadap penguasa.
Para ulama yang berkiprah di Kerajaan Bandar Aceh Darussalam
No.
|
Sultan
|
Masa
|
Tahun
|
Ulama
|
1
|
‘Alī Mughāyat Syāh |
16 th.
|
1514-1530 M
|
Al-Syaykh Syams al-Bahr |
2
|
Salāh al-Dīn |
7 th.
|
1530-1537 M
|
|
3
|
‘Alā’ al-Dīn Ri‘āyat Syāh, bergelar al-Qahhār |
33 th.
|
1537-1571 M
|
Teungku Di Bitai, Ulama dari Turki-Suriah, berasal dari Bayt-al-Maqdis, Jerussalem |
4
|
Husayn ‘Alī Ri‘āyat Syāh |
8 th.
|
1571-1579 M
|
Muhammad Azharī, atau Syaykh Nūr al-Dīn |
5
|
Sultan Muda (umur 4 bln.) |
7 bln.
|
w. 1579 M
|
|
6
|
Sri ‘Ālam (Raja Priaman) |
-
|
w. 1579 M
|
|
7
|
Zayn al-‘Ābidīn |
-
|
w. 1579 M
|
|
8
|
‘Alā’ al-Dīn Mansūr Syāh |
7 th.
|
1579-1586 M
|
|
9
|
‘Alā’ al-Dīn Ri‘āyat Syāh |
3 th.
|
1586-1589 M
|
Syaykh Muhammad Jaylanī ibn Hasan ibn Muhammad Hamīd kembali ke Aceh |
10
|
‘Alī’ Mughāyat Syāh, bergelar al-Mukammil |
5 th.
|
1589-1604 M
|
Bukhārī al-Jawharī |
11
|
‘Alī Ri‘āyat Syāh |
3 th.
|
1604-1607 M
|
- |
12
|
Iskandar Muda |
29 th.
|
1607-1636 M
|
|
13
|
Iskandar Thānī |
5 th.
|
1636-1641 M
|
Nūr al-Dīn al-Rānirī |
14
|
Safiyyat al-Dīn |
34 th.
|
1641-1675 M
|
|
Tabulasi ini penulis batasi sampai masa
Sultanah Safiyat al-Dīn, sebab seperti disimpulkan Amirul Hadi, bahwa
al-Mukammil, Iskandar Muda, dan Safiyyat al-Dīn adalah tokoh yang sering
mengambil model penerapan adat kerajaan (royal adat) dalam konteks raja
sebagai pembuat hukum (law maker). Dengan demikian peran ijtihad
kreatif para ulama akan terlihat dengan jelas karena berhadapan langsung
dengan tantangan yang muncul dari kecenderungan meneruskan adat
kerajaan.
Bab III Saran Dan Pesan
Melihat kondisi Aceh hari ini dengan
kemajuan dalam pelbagai sector sehingga ditakuti terjadinya pergesaran
nilai- nilai baik yang telah ditanamkan oleh para pendahulu Aceh sejak
dahulu kala maka pemerintah seyogiyanya melakukan trobosan- trobosan
langkah- langkah antisipasi untuk mengembalikan pendidikan dayah yang
telah eksis sejak zaman dahulu sehingga berjalan dimasa- masa sekarang
ini sesuai dengan apa yang telah ditinggalkan leluhur kita dizaman
dahulu terus kita lanjutkan dan pertahankan, hal ini penting dilakukan
demi terciptanya Aceh seperti yang berjaya dimasa dulu. Menurut yang
penulis cermati perlu adanya usaha keras dan melakukan langkah- langkah
dan upaya- upaya sehingga peserta didik terlahir sebagai seorang
bermodalkan iman dan islam yang benar.
Ukuran keberhasian peserta didik masa
lalu diukur dari pengakuan public yang menghasilkan wibawa piskologis
bukan wibawa fungsional semata. Yang bisa menghindari dari regitimasi
palsu .
Adapun upaya- upaya yang mesti kita lakukan menurut yang penulis kaji,
- Kerjasama pemerintah dan ulama untuk melahirkan kekuatan bangsa kedepan
- Karakter yang berfonadasikan idologi masyarakat Aceh
- Melahirkan lulusan yang Entrepreneurship yang tidak beroreantasi pada kepemerintahan walaupun itu dibolehkan. Semua ini tidak bisa dilepaskan dari nilai agama. Dikarenakan karakter dan moral dalam historisnya adalah semuanya berasal dari agama.
- Hari ini di Aceh harus lahir sebuah pendidikan yang mengadopsi semua nilai- nilai positif yang ada didalam pendidikan ulama dan pendidikan umum yang semua pengelolaannya tidak lepas dari arahan ulama sebanyak mungkin, dalam semua tingkatan dan bidang. Perlu lahirnya dayah tinggi yang mengadopsi saint dalam cultur dayah. Dayah yang mengembangkan sain. Dan menjadi program pemerintah monumental
- Memposisikan ulama menjadi mitra umara yang serius, tidak hanya untuk kepentingan politik tapi juga sebagai pengarah yang mempengaruhui setiap kebijakan.
- Pemerintah melakukan kebijakan- kebijakan yang mendidik. Semacam melahirkan kelompok- kelompok masyarakat yang menjadi model bagi pembangunan bangsa yang dicita- citakan.
- Supaya tubuh semangat untuk bangkit menangani situasi- situasi yang tidak menentu dan memberikan arahan serta penjelasan kepada umara, mempererat tali silaturrahim antar sesama ulama demi terciptanya pemerintah dan masyarakat yang madani.
- Ulama mesti mempertahankan dan mengamati dari perjalanan sejarah ulama dahulu sebagai perancang dan pemikir dan mencari solusi maka merupakan sebuah kewajiban mempertahankannya dan mengikuti hal itu.
Bab IV Penutup
Eksistensi dayah menjadi istimewa karena
ia menjadi pendidikan alternatif (penyeimbang) dari pendidikan yang
dikembangkan oleh kaum kolonial (Barat) yang hanya bisa dinikmati oleh
segelintir orang. Dayah menjadi tempat berlabuh umat Islam yang
tersingkir secara budaya (pendidikan) akibat perlakuan diskriminatif
penjajah.
Kini perkembangan dayah dengan sistem
pendidikannya mampu mensejajarkan diri dengan pendidikan lain pada
umumnya. Kenyataan ini menjadi aset yang luar biasa baik bagi
perkembangan pendidikan dayah maupun pendidikan Aceh bahkan nasional
pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Dari sana diharapkan
tumbuh kaum intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual
yang kuat.
Eksistensi dayah tidak bisa dilepaskan
dari peran negara. Ranah kultural yang digeluti dayah selama ini menjadi
landasan yang sangat berarti bagi eksistensi negara khususnya daerah
Aceh. Perjuangan dayah baik secara fisik maupun secara kultural tidak
bisa dihapus dari catatan sejarah Aceh. Dan kini generasi santri
tersebut mulai memasuki jabatan-jabatan publik (pemerintah), baik
eksekutif maupun legislatif yang dulunya hanya sebatas mimpi.
Landasan kultural yang ditanamkan kuat di
dayah diharapkan menjadi guidence dalam implementasi berbagai tugas
baik pada ranah sosial, ekonomi, hukum, maupun politik. Baik di lembaga
pemerintahan maupun swasta yang konsisten, transparan, dan akuntabel.
Ini penting karena dayah merupakan kawah candratimuka bagi munculnya
agent of social change. Dan daerah khususnya Aceh sangat berkepentingan
atas tumbuhnya generasi yang mumpuni dan berkualitas. Oleh sebab itu,
kepedulian dan perhatian pemerintah bagi perkembangan dayah sangat
diperlukan.
Kalau selama ini dayah telah
menyumbangkan seluruh dayanya untuk kepentingan masyarakat, maka harus
ada simbiosis mutualisme antara keduanya. Sudah waktunya pemerintah
memberikan perhatian serius atas kelangsungan dayah. Kalau selama ini
dayah bisa eksis dengan swadaya, maka eksistensi tersebut akan lebih
maksimal apabila didukung oleh pemerintah dengan serius. Badan Dayah
yang kini ada Aceh, bukan hanya sekadar menambah SKPA di jajaran
Pemerintah Aceh, melainkan harus benar-benar menjalankan tugas dan
fungsinya dalam memajukan dayah-dayah yang ada di daerah ini.
Oleh sebab itu, diperlukan revitalisasi
relasi antara dayah dan pemerintah yang selama ini berjalan apa adanya.
Tapi di sini perlu digaris bawahi bahwa revitalisasi relasi antara
pemerintah dan dayah adalah relasi yang sebenarnya, bukan relasi yang
hanya kepentingan waktu pilkada dan pemilu sudah di ambang pintu, yang
berlomba-lomba mendatangi dayah, mendekati pimpinan dayah agar mulus
perjalanannya menuju apa yang diinginkan, dan bahkan supaya mulus untuk
duduk di periode selanjutnya. Atau sebaliknya dari unsur pimpinan dayah
sendiri atau dari kalangan dayah yang membawa nama dayah untuk menuju
kepentingan kelompok dan pribadi demi ambisi meraih kekuasaan.
Selama ini sistem pendidikan kita belum
sepenuhnya ditangani secara maksimal. Beberapa departemen melaksanakan
pendidikannya sendiri (kedinasan) sesuai dengan arah dan orientasi
departemen masing-masing. Sejatinya pendidikan di sebuah negara maupun
daerah berada dalam sebuah sistem terpadu sehingga menghasilkan output
yang maksimal bagi kepentingan bersama (nasional), bukan hanya
kepentingan sektoral. Inilah satu problem yang dihadapi sistem
pendidikan kita saat ini.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik (ed.). Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali, bekerjasama dengan Yayasan Ilmu Ilmu Sosial [YIIS] 1983.
Majalah Santri Dayah (Media Dakwah Santri Dayah)
Makalah Prof. DR. Tgk. H. Muslim Ibrahim
Wikipedia
Abdul Jalil, Tuanku. Adat Meukuta Alam. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1991.
Ahmad ibn Hanbal. Musnad al-Imām Ahmad ibn Hanbal. Beirut: Dār al-Sādir, t.th.
Ahmad, Zakaria. Sekitar Kerajaan Atjeh dalam Tahun 1520-1675. Medan: Monora, 1972.
Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah. Jakarta: Sinar Harapan, 1987.
Alfian, Ibrahim. Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2004.
Bin Zaghībah, ‘Izz al-Dīn. Al-Maqāsid al-‘Āmmah li al-Syarī‘at al-Islāmiyyah. Kairo: Dār al-Safwah, 1996.
Al Chaidar. Gerakan Aceh Merdeka, Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam. t.tp.: Madani Press, cet. II, 2000.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Mizan, 1994.
Daud, Darni (ed.). Qanun Meukuta Alam;
Dalam Syarah Tadhkirah Tabaqât Tgk. Di Mulék dan Komentarnya. Banda
Aceh: Syiah Kuala University Press, 2010.
Depdiknas. Sejarah Pendidikan Daerah
Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1984.
Djajadiningrat, Hoesein. Kesultanan Aceh. Banda Aceh: Depdikbud, 1983.
Fathurrahman, Oman. Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee Aceh Besar. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.
Gade Ismail, Muhammad. Pasai dalam Perjalanan Sejarah: Abad Ke-13 Sampai Awal Abad Ke-16. Jakarta: Depdikbud, 1993.
Al-Ghazālī. Al-Mustasfā fī ‘Ilm al-Usūl. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
Al-Ghazālī. Asās al-Qiyās. Riyad: Maktabah al-‘Ubaykān, 1993.
Amirul Hadi. Respons Islam terhadap
Hegemoni Barat: Aceh vs Portugis 1500-1579. Banda Aceh: Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional, 2006.
Hadi, Amirul. Aceh; Sejarah, Budaya, dan Tradisi. Jakarta: Obor, 2010.
Hurgronje, Snouck. De Atjèhers, terj. Sutan Maimoen, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya. Jakarta: INIS, 1996.
Hurgronje, Snouck. Achehnese, terj. Ng. Singarimbun. Jakarta: Soko Guru, 1985.
Iskandar, Teuku. De Hikajat Atjéh. Belanda: ‘S-Gravenhage-Martinus Nijhoff, 1958.
Iskandar, Teuku. Nūr al-Dīn al-Rānirī; Bustān al-Salātin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966.
Al-Juwaynī. Al-Burhān fī Usūl al-Fiqh. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997.
Khallāf, ‘Abd al-Wahhāb. ‘Ilm al-Usūl al-Fiqh, cet. 12. Kuwait: Dār al-Kalām, 1978.
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda, terj. Winarsih Arifin. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Panitia Penyelenggara MTQN 12. Dari Sini Ia Bersemi. Banda Aceh: Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, 1981.
Al-Qurtubī. Al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur‘ān. Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, t.th.
Reid, Anthony. Perjuangan Rakyat; Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Reid, Anthony. Sumatera Tempo Doeloe: dari Marco Polo sampai Tan Malak. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.
Said, Mohammad. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Waspada, cet. II, 1981.
Saleh, Hasan. Revolusi Islam di Indonesia. Darussalam: Pustaka Djihad, 1956.
Sardono. W. Kusumo (ed.). Aceh Kembali ke Masa Depan. Jakarta: IKJ Press, 2005.
Soehino. Ilmu Negara, cet. 7. Yogyakarta: Liberty, 2005.
Al-Syāfi‘ī. Al-Risālah fī al-Usūl al-Fiqh, Tahqīq; Ahmad Muhammad Syākir. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
Van Langen. KFH. Susunan Pemerintahan
Aceh Semasa Kesultanan, alih bahasa: Aboe Bakar. Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1997.
William, H. Frederick dan Soeri Soeroto (Penyunting). Pemahaman Sejarah Indonesia, cet. 3. Jakarta: LP3ES, 1991.
Zainuddin, H. M. Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961.