Abu Mudi |
Oleh:
Abu Mudi (Abu Syech. H. Hasanoel Bashry. HG)
Pimpinan Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Ketua Umum PB. HUDA
Sebelum kita menghukumi apakah wajibkan kita bermazhab atau tidak ada
baiknya kita harus mengenal dulu apa itu mazhab? berikut penjelasan
sedikit tentang hal tersebut.
A. Mazhab
Mazhab adalah kalimat isim makan atau isim zaman yang berasal dari kata;
ذهب – يذهب – ذهبا / ذهابا
yang berarti pergi atau berjalan, maka secara bahasa arti mazhab
adalah tempat berjalan/jalan atau waktu berpergian. Pengertian mazhab
dalam bingkai syari`at adalah sekumpulan pemikiran Imam Mujtahid
dibidang hukum-hukum syari`at yang digali dengan menggunakan dalil-dalil
secara terperinci, dan kaedah-kaedah ushul. Jadi Mazhab yang kita
maksudnya di sini adalah mazhab fiqh. Saat ini kita mengenal empat
Mazhab dalam dunia islam, yaitu:
1. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi dibentuk oleh seorang ulama besar kufah yang bernama
lengkap, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha al-Kufii. Beliau
lahir pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 150 H. beliau adalah termasuk
dalam atba’ al-tabi’in, dan ada ulama yang mengatakan bahwa beliau
tergolong dalam Tabi’in, yang hidup dalam dua daulah yaitu daulah
umayyah dan daulah ‘abbasiyyah, sehingga beliau pernah bertemu dengan
Anas bin Malik dan juga meriwatkan hadits darinya.[1] Sekarang ini
mazhab Hanafi merupakan mazhab di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Dan
mazhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan,
Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.
2. Mazhab Maliki
Mazhab ini didirikan oleh seorang ulama besar madinah yang lahir pada
tahun 93 H/73 M, dari keluarga Arab terhormat, bernama lengkap Abu
‘Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir bin amr bin Haris bin
Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Ashbahi. Orang tua dan leluhurnya
dikenal sebagai ulama hadits Madinah, kerena ini membuat imam Malik
sejak kecil mencintai ilmu hadits dan ilmu lainnya. Mula-mula beliau
menimba ilmu hadits pada ayah dan paman-pamannya. Kemudian berguru
kepada ulama-ulama terkenal antara lain, ‘Abd ar-Rahman bin Hurmuz dan
Nafi’ Maula Ibn ‘Umar. Dan guru beliau dibidang fiqh ialah, Rabi’ah bin
‘Abd Ar-Rahman, dan imam Ja’far ash-Shadiq[2].
Imam Malik telah menguasai banyak ilmu sehingga tidak sedikit ulama
yang menimba ilmu padanya, termasuk diantaranya imam Syafi’i penegak
pertama mazhab Syafi’i, Bahkan menurut satu riwayat, murid terkenal imam
Malik mencapai 1.300 orang. Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Maliki.
saat ini ada di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.
3. Mazhab Syafi’i
Mazhab ini didirikan oleh seorang ulama yang lahir pada tahun 150 H,
di Gazza bagian selatan dari Palestina. Bernama lengkap imam Abu ‘Abd
al-llah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin Saib
bin Abu Yazid bin Hasyim bin ‘Abd al-Muthallib al-Quraiyi al-Hasyimi,
yang bertemu dengan Rasulullah pada kakek beliau yang kesembilan.
Sedangkan ibunya bernama Fathimah binti ‘Abdillah bin Hasan bin Husain
bin ‘Ali Ra yang merupakan shahabat dan menantu Rasulullah SAW.
Sejak masih usia Sembilan tahun, beliau sudah hafal seluruh
al-Qur’an, kemudian dalam usia sepuluh tahun, beliau sudah hafal kitab
al-muwattha’ imam Malik yang memuat lima ribu hadits-hadits shahih.
Banyanya ilmu yang beliau miliki karena ketekunannya dalam mencari ilmu,
hampir setiap pusat ilmu berliau ziarahi seperti Mekkah, Madinah, Iraq,
Kufah dan Mesir, disana beliau berjumpa dengan ulama-ulama besar,
seperti imam Malik, dimana imam Syafi’i selalu bersama beliau selama
satu tahun. Dan Abu Yusuf, ashhab dari Abu Hanifah.
Pada tahun 179 H, beliau diberi izin oleh imam Malik untuk berfatwa
sendiri, namun beliau tetap bertaqlid pada guru-gurunya, sehingga pada
tahun 198 H, sesudah usia beliau genap 48 tahun, mulailah berfatwa
sendiri dengan lisan maupun dengan tulisan, pertama memberi fatwa di
‘Iraq yang diishtilahkan dengan al-Qaulul Qadim, kemudian berpindah ke
Mesir dan fatwa beliau selama disini diishtilahkan dengan al-Qaulul
Jadid. Di kota inilah beliau menghadap Allah Swt sesudah shalat maghrib
malam Jum’at, akhir bulan Rajab pada tahun 204 H, bertepatan dengan 28
Juni 819 M. Mazhab Syafi’i sampai sekarang dianut oleh umat Islam di
Libia, Mesir, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan,
Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India,
Jazirah Indo China, Sunni-Rusia dan Yaman.
4. Mazhab Hanbali
Mazhab ini didirikan oleh imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal bin
Hilal bin Asada az-Zuhili asy-Syaibani, beliau lahir di pusat
pengembangan islam Baghdad pada tahun 164 H dan dikota ini pula banyak
menghabiskan masa hidupnya untuk mengabdi pada pendidikan islam sehingga
wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 241 H, sebagaimana ulama lainnya,
beliau juga hijrah kepusat-pusat ilmu pengetahuan lainnya seperti,
kufah, Bashrah, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, dan Jazirah.
Beliau adalah seorang ulama hadits, dan fiqh yang banyak menghafal
hadits dari guru-gurunya antara lain Imam Syafi’i dan Hasyim bin Basyir
bin Abi Khazim al-Bukhari sehingga beliau menyusun satu kitab yang
memuat empat puluh ribu hadits. Banyak para ulama yang memberi kesaksian
atas ketinggian ilmunya, antara lain Ibrahim al-Harbi berkata “aku
lihat Ahmad bin Hanbal seolah-olah beliau telah mengumpulkan ilmu ulama
terdahulu dan selanjutnya”[3]. sekarang ini Mazhab Hanbali menjadi
mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar
di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.
Selain mazhab yang empat masih terdapat mazhab lain, seperti Mazhab
Al-Ibadhiyah yang didirikan oleh Jabir bin Zaid (wafat 93 H). Mazhab
Azh-Zhahiriyah yang didirikan oleh Daud bin Ali Azh-Zhahiri (wafat 270
H), Mazhab Laist yang didirikan oleh imam al-Laits bin sa’ad bin’Abdur
rahman al-Fahmi ( 94 H-175 H), Mazhab Tsaury didirikan oleh Imam Sufyan
ibn Sa’id bin Masruq bin Habib bin Rafi’I, ( 97 H/715 M ), Mazhab Auza`i
didirikan oleh Abdurrahman Al Auza’i (wafat 113 H), Mazhab Ishaq ibn
Rahawiyah, Mazhab Sufyan bin Uyainah, Mazhab Imam Hasan Basri.
Namun selain mazhab yang empat semuanya tidak bertahan lama
pengikutnya hanya ada pada saat Imam mazhabnya masih hidup, setelah
beliau wafat tidak ada lagi yang meneruskan mazhabnya. Karena itu sangat
sulit bagi kita menelusuri mazhab selain empat apalagi bermazhab dengan
selain yang empat.
B. Ijtihad
Ijtihad adalah etimologi berarti kesanggupan dan kemampuan. Sedangkan
pengertian Ijtihad secara istilah adalah mengerahkan segenap kemampuan
untuk menghasilkan sebuah dhan terhadap satu hukum.[4] Pelaku ijtihad
disebut sebagai Mujtahid. Ijtihad telah semenjak Rasulullah SAW, saat
Rasulullah SAW memerintahkan shahabat Mu`az Bin Jabal ke negri Yaman
menjadi hakim, Rasulullah bertanya: ‘’Dengan apa kamu akan menuturkan
perkara yang diadukan padamu? Mu`az menjawab; dengan hukum yang tertera
dalam kitabullah. Rasulullah bertanya lagi; jika engkau tidak menemukan
dalam kitabullah? Mu`az menjawab; aku akan menghukumi dengan
keputusan-keputusan Rasulullah. Rasululah terus bertanya; “jika kamu
tidak mendapatkan keputusan Rasulullah? Mu`az menjawab; “Aku akan
berijtihad dengan pendapatku’’ (H.R. Ad Darimy)
C. Syarat ijtihad
Tidak sembarang orang dapat melakukan ijtihad. Bahkan dari kalangan
shahabat Nabi sendiri hanya beberapa orang saja yang berijtihad sendiri.
Beberapa syarat mutlak harus dipenuhi. Secara ringkas syarat-syarat
tersebut antara lain:[5]
- Baligh
- Berakal (Memiliki malakah untuk memahami).
- Memiliki IQ yang tinggi (syadid fahmi)
- Memahami dalil `aqly (bara`ah ashliah).
- Memahami loghat arab dan ilmu arabiyah (loghat, nahu, saraf, badi`, bayan, ma`any, `arudh, qawafy dll)
- Memahami ayat atau hadis yang bekenaan dengan hukum.
- Mengusai serta ahli dalam memraktekkan qawaid-qawaid syara`
- Mengenal nasikh dan mansukh.
- Mengetahui masalah-masalah ijmak.
- Memahami ushul fiqh.
- Mengetahui asbabun nuzul dan asbabul wurud.
- Mengetahui syarat mutawatir dan ahad, shahih dan dhaif dan keadaan perawi.
- Mengusai kaifiah nadhar.
Syarat-syarat ini sangat sukar mampu dicapai oleh seseorang, sehingga
Imam Ghazali dalam Al Basith mengatakan bahwa syarat-syarat ini pada
masa ini telah ozor untuk dicapai.[6]
D. Tingkatan para Mujtahid
Mujtahid terbagi dua:
Mustaqil adalah seorang mujtahid yang memenuhi semua
syarat-syarat ijtihad mampu menciptakan qawaid hukum sendiri dan lepas
dari qaedah mazhab lainnya. Mujtahid yang memenuhi kriteria ini tidak diperdapatkan semenjak masa
setelah Imam Syafii. Bahkan Imam As Sayuthi mengatakan keinginan
manusia pada hari ini ingin menjadi mujtahid adalah suatu hal yang
mustahil.[7] Ulama yang mencapai tingkatan ini antara lain Imam Mujtahid
yang empat dan para imam mujtahid lainnya sebelum masa mereka.
2). Ghairu mustaqil (muntasib).
Mujtahid Ghairu mustaqil terdiri dari 4 tingkatan:
- Mujtahid yang tidak mengikuti imam baik dalam mazhab maupun dalil karena memiliki sifat yang sama dengan mujtahid mustaqil. Tetapi ia masih dibangsakan kepada Imam yang lain karena dalam menggali hukum masih menempuh cara Imam dalam berijtihad.[8] Ulama yang berada pada tingkatan ini seperti Al Muzani, murid senior Imam Syafii.
- Mujtahid yang muqayyad (terikat) dalam satu mazhab, sanggup mengusai dan mengurai qawaid hukum dengan sendiri, tetapi dalil-dalilnya tidak keluar dari qawaid dan dalil Imam. Syarat mujtahid pada tingkatan ini adalah alim dengan fiqh, ushul fiqh, adillah ahkam, menguasai masalik qiyas (metode penemuan ilat) terlatih dalam menggali dan mengupas hukum, mampu mengqiyaskan masalah yang tidak ada dalam nash Imam. Bagi mereka nash Imam menjadi dalil bagaikan nash syara` bagi Mujtahid mustaqil. Ini adalah tingkatan ashhabil wujuh. Seperti Imam Qaffal dan Abi Hamid.[9]
- Mujtahid yang tidak sampai tingkatan Ashhabil wujuh karena kekurangan mereka dalam memahami mazhab, kurang tebiasa dalam istinbah hukum, tetapi mereka memiliki IQ yang tinggi, menguasai mazhab imamnya, memahami dalil, dan sanggup mengurai dan mentarjihnya. Diantara ulama tang berada pada tingkatan ini adalah Imam Nawawy dan Imam Rafii.
- Mujtahid yang mampu menaqal/mengutip dan memahami mazhab imamnya baik yang jelas maupun yang sukar. Namun tidak sanggup menguraikan dalil dan mentaqrir qiyas.[10]
Sebagian para ulama membagi tingkatan mujtahid hanya kepada tiga :
- Mujtahid mutlaq, seperti Imam yang empat
- Mujtahid Mazhab, seperti Al Muzani.
- Mujtahid Fatwa, seperti Imam Nawawy dan Imam Ar Rafii.[11]
E. Kewajiban bermazhab.
Umumnya, manusia didunia terbagi kepada dua kelompok, yaitu pandai
(alim) dan awam. Yang dimaksud dengan orang pandai (alim) dalam
diskursus pemahaman bermazhab adalah orang-orang yang telah memiliki
kemampuan menggali hukum dari Al Quran dan Hadis yang dinamakan sebagai
Mujtahid. Sedangkan orang yang awam adalah orang-orang yang tidak
memiliki kemampuan untuk itu disebut sebagai Muqallid. Keadaan mereka
mengikuti para imam Mujtahid dinamakan dengan taqlid.
Kewajiban terhadap setiap muslim adalah meyakini dan mengamalkan apa
yang telah disampaikan Rasulullah dalam al-Qur’an dan Sunnah secara
benar. Bagi para mujtahid, dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka
dapat menggali hukum sendiri dari Al-Quran dan Hadis bahkan bagi mereka
tidak boleh mengikuti pendapat orang lain. Sedangkan bagi orang awam
betapa berat bagi mereka untuk memahami dan mengambil hukum dari Al
Quran dan Hadis. Maka bermazhab adalah semata-mata untuk memudahkan
mereka mengikuti ajaran agama dengan benar, sebab mereka tidak perlu
lagi mencari setiap permasalahan dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an,
Hadist, Ijma’ dll, namun mereka cukup membaca ringkasan tata cara
beribadah dari mazhab-mazhab tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana
sulitnya beragama bagi orang awam, bila harus mempelajari semua ajaran
agamanya melalui al-Qur’an dan Hadist. Betapa beratnya beragama bila
semua orang harus berijtihad. Dan banyak sektor yang menjadi kebutuhan
manusia akan terbengkalai kalau seandainya setiap manusia berkewajiban
untuk berijtihad, karena untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad tersebut
tentu menghabiskan waktu yang lama dalam mempelajarinya.
Taqlid dalam perbandingan lain dapat kita ibaratkan dengan
mengkonsumsi makanan siap saji yang telah di masak oleh ahlinya. Bila
kita ingin memasaknya sendiri tentu saja kita harus terlebih dahulu
menyiapkan bahan-bahan makanan tersebut dan harus mempelajari cara-cara
memasaknya serta mempunyai pengalaman dalam memasak. Hal ini tentu saja
membutuhkan waktu bahkan kadang-kadang hasil yang diperoleh tidak
memuaskan, tidak menjadi makanan yang lezat. Demikian juga dalam taqlid,
tentu saja ia harus dahulu mempelajari dan menguasai syarat-syarat
ijihad. Bisa saja karena kemampuan yang masih kurang hukum yang
dihasilkan adalah hukum yang fasid.
F. Ayat dan Hadis landasan Taqlid.
Sebenarnya banyak ayat-ayat Al Quran dan Hadis yang menjadi landasan kewajiban bertaqlid bagi manusia, antara lain:
Surat Al Anbiya ayat 7
فسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
Artinya “maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui”(Qs.Al-anbia:7)
Memang ayat diatas asbabun nuzulnya untuk menyikapi prediksi
orang-orang musyrik yang menyatakan Allah tidak akan mengutus rasul dari
jenis manusia . Namun dalam undang-undang usul fiqh yang menjadi
pertimbangan hukum dan titik tekan dalam sebuah ayat adalah keumuman
(universal) lafadz ayat.
Dengan demikian ayat diatas sebenarnya mengandung perintah kepada
orang yang tidak memiliki ilmu agama agar bertanya dan mengikuti
pendapat orang yang pandai diantara mereka. Secara tekstual, ayat diatas
berisi perintah bertanya kepada orang yang pintar. Tidak ada informasi
perintah taklid, sehingga tidak bisa di jadikan dalil kewajiban taklid.
Namun pemahaman demikian kurang tepat, sebab bila diperhatikan lebih
teliti, perintah diatas termasuk perintah mutlak dan umum.Tidak
ditemukan kekhususan perintah bertanya tentang dalil atau yang lainnya.
Sehingga ayat tersebut bias menjadi dalil kewajiban taklid.
Surat An Nisa ayat 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Artinya: ‘’hai orang-orang yang beriman! Turutilah Allah dan turutilah Rasul dan ulil amri dari kamu’’ (An Nisa 59)
‘’Ulil amri’’ dalam ayat diatas diartikan oleh para mufassir dengan
‘’ulama-ulama’’. Diantara para mufassir yang berpendapat demikian adalah
ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, Hasan, `Atha` dll. Maka dalam ayat ini
diperintahkan kepada kaum muslim untuk mengikut para ulama yang tak lain
disebut taqlid.
Surat As sajadah ayat 24
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Artinya: “dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pamimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah kami ketika mereka bersabar, dan mereka
meyakini ayat-ayat kami” (Qs. As-sajadah :24)
Abu As-su’ud berkomentar, subtansi ayat di atas menjelaskan tentang
para imam yang memberi petunjuk kepada umat tentang hukum-hukum yang
terkandung dalam Al-Qur’an. Dengan demikian wajib bagi umat untuk
mengikuti petunjuk yang mereka berikan.
Hadis riwayat Turmuzi dll
اِقْتَدُوا بِاَللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ ”
أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَسَنٌ وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ
مَاجَهْ
Artinya: “Ikutilah dua orang sesudah saya, yaitu Abu Bakar dan Umar“ (H.R. Turmuzi, Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Dalam hadis ini jelas kita disuruh kita mengikuti dua Ulama yang juga
shahabat Nabi yaitu Abu bakar dan Umar Rda. Ini adalah perintah untuk
Taqlid.
Hadis riwayat Baihaqi
أصحابي كا لنجوم باءيهم اقبديتم اهتديتم (رواه البيهقي
Artinya: “Sahabatku seperti bintang, siapa saja yang kamu ikuti maka kamu telah mendapat hidayat” (Riwayat Imam Baihaqi).
Ini juga dalil yang meyuruh kita (yang bukan mujtahid ) untuk
mengikuti sahabat-sahabat nabi, mengikuti mereka itulah yang di katakan
TAQLID. Semua hadits diatas menggambarkan bahwa para sahabat dan ulama-ulama
setelah sahabat, merupakan pelita bagi umat manusia, sehingga Rasulullah
menjadikan para ulama sebagai pewaris para Anbiya’ dalam memberi
petunjuk kepada ummat. Mengikuti mujtahid pada hakikat adalah mengikuti
Allah dan RasulNya, dan lagi para ulama telah sepakat bahwa ijtihad
mereka bersumber pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul karena silsilahnya
(ikatan) dengan Rasulullah tidak diragukan, maka mengikuti mujtahid juga
dinamakan mengikuti Rasulullah.
F. Masih adakah mujtahid pada masa ini?
Secara akal memang tidak tertutup kemungkinan adanya mujtahid mutlak
yang memenuhi semua kriteria mujtahid diatas pada akhir zaman. Namun
dalam kenyataanya, para ulama besar seperti Imam Ghazaly (450 H/ 1058 M –
505 H/ 1111 M), Ibnu Shalah (577 H/1181 M-643 H/1245 M), Imam Fakhr
Ar-Razi (543 H-606 H) dan beberapa ulama besar lainnya dengan tegas
menyatakan bahwa semenjak masa setelah Imam Syafii (767-820 M) tidak
diperdapatkan seseorangpun yang memenuhi standar sebagai mujtahid
mutlak. Imam Rafii (wafat 623 H), Imam Nawawy (1233 – 1278 M) menyatakan
bahwa “manusia pada saat ini bagaikan telah sepakat bahwa tidak ada
mujtahid”.[12] Imam Ibnu Hajar menerangkan bahwa mujtahid yang
dimaksudkan oleh Syaikhany (Imam Rafii dan Imam Nawawy) adalah mujtahid
mustaqil. Sehingga hal ini tidaklah bertentangan dengan perkataan Ibnu
Ruf`ah bahwa Ibnu Abdis Salam (577 H – 606 H) dan Ibnu Daqiqil `id (615 H
– 702 H) telah mencapai derajat ijtihad, karena ijtihad yang beliau
maksudkan adalah ijtihad pada sebagian masalah.[13]
Syeikh Yusuf bin Ismail An Nabhany (1849–1932 M) mengatakan bahwa
dakwaan ijtihad pada masa ini oleh sebagian orang yang telah alim
hanyalah sebuah dakwaan dusta yang tidak perlu dipedulikan. Perkataan
beliau bukanlah tanpa dasar tetapi berdasarkan pernyataan para ulama
terkemuka yang lebih dahulu antara lain Imam Sya`rany (898 H/1493 M –
973 H/1565 M), Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy (909 H – 974 H), Imam Al
Manawy (925 H – 131 H) dll.
Imam Ibnu Hajar menyebutkan, ketika Imam Jalal As Suyuthy (849 H –
921 H) mendakwakan ijtihad, maka bangkitlah beberapa ulama membawakan
beberapa masalah yang belum di tarjih oleh para imam terdahulu. Mereka
meminta kepada Imam As Sayuthy jika memang beliau telah sampai pada
derajat ijtihad yang paling rendah yaitu mujtahid fatwa maka hendaklah
beliau menentukan pendapat yang kuat dari beberapa pendapat tersebut.
Namun Imam As Sayuthy tidak menjawabnya dan beliau beralasan bahwa
disibukkan dengan berbagai kegiatan. Derajat mujtahid fatwa adalah
tingkatan mujtahid yang paling rendah, namun juga sangat sulit untuk
dicapai, apalagi tingakatan mujtahid mazhab dan mujtahid mutlaq.
Imam Haramain(399 H – 460 H), dan Imam Ghazaly (450 H/ 1058 M – 505
H/1111 M) merupakan dua ulama besar yang diakui pada zamannya, namun
jangankan tingkatan mujtahid mutlak, termasuk dalam Ashabil Wujuh saja
masih ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Imam Rauyany (wafat
502 H) juga tidak termasuk dalam Ashabil wujuh padahal ilmu beliau
sangat luas, bahkan beliau sendiri pernah mengatakan bahwa ‘’kalau
seandainya semua nash Imam Syafii hilang maka aku sanggup
mengdektekannya dari dadaku’’. Imam Al Qaffal (291 – 365 H) yang
merupakan guru dari para Ashabil Wujuh mengatakan: “fatwa ada dua;
pertama; seseorang yang telah berhimpun padanya syarat ijtihad. Orang
tingkatan ini sudah tidak diperdapatkan lagi. Yang kedua; seseorang yang
sanggup menguraikan mazhab salah satu Imam Mujtahid dan menguasai
dasar-dasar mazhab tersebut. Bila ditanyakan masalah yang belum ada nash
dari Imam Mazhab, mereka sanggup menggali hukumnya berdasarkan qaedah
Imam Mazhab. Kemudian beliau mengatakan bahwa mufti tingkatan kedua ini
‘’lebih sulit diperdapatkan dari pada belerang merah’’.
Dapat disimpulkan bahwa derajat mujtahid bukanlah derajat yang mudah
dicapai. Para imam-imam yang terkemuka seperti Imam Ghazali, Imam
Fakhrur Razi, Imam Nawawy, Imam Rafii belum sampai pada tingkatan
mujtahid, mereka masih mengikut pada mazhab Imam Syafii, tidak
berijtihad sendiri.[14] Adapun orang-orang yang mengajak untuk berijtihad seperti Ibnu Qayyim
(1292 M- 751 H/1350 M), Muhammad Abduh (1849 – 1905 M), Rasyid Ridha
(1865-1935 M), Jamaluddin Afghany (1838 – 1897 M) dan beberapa tokoh
kontemporer lainnya tak seorangpun dari mereka yang setingkat dengan
Imam Ibnu Hajar Al Haitamy, Imam Nawawy atau para ulama lainnya yang
masih taqlid kepada Imam Syafii. Demikian juga karangan mereka, tak ada
yang sebanding dengan kitab Tuhfatul Muhtaj atau Kitab Majmuk Syarah
Muhazzab karangan Imam Nawawy.
WAALLAHU A`LAM BISH SHAWAB.
Sumber:
LPI MUDI MESRA, Samalanga, Bireun, Aceh.
Maraji`
- Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh cet. Dar Fikr
- Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Fatawy Kubra Cet. Dar fikr
- Jalal Mahally, Al Mahally `ala jam`ul jawami`, Cet. Haramain
- Imam Nawawy, Adabul fatwa wal mufti Cet. Dar Fikr
- Sayyid `Alawy As Saqqaf, Sab`atul kutub mufidah Cet. Haramain
- Imam As sayuthi, Ar radd `ala man ahklada wa jahal annal ijtihad fardh fi kulli `ashr Cet. Dar Fikr
- Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul Haq Cet. Matba`ah Maimaniyah
- Zakaria Al Anshary, Ghayah Wushul syarah Lubb al Ushul, Cet. Semarang, Toha putra
- Imam Zarkasyi, Bahrul Muhith cet. Dar Fikr
[1] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh jilid 1, hal. 43 cet. Dar Fikr
[2] ibid, hal. 45
[3] Ibid. hal. 53
[4] Zakaria Al Anshary, Ghayah Wushul syarah Lubb al Ushul, (semarang, Toha putra) hal 147
[5] Jalal Al Mahalli, Syarah `ala jam`ul jawami`jlid 2 hal 382. Cet.
Haramain, Imam Zarkasyi, Bahrul Muhid jilid 4 hal 489 Cet. Dar Kutub
Ilmiyah
[6] Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul Haq hal 5 cet. Matba`ah Maimaniyah
[7] Imam As sayuthi, Ar radd `ala man ahklada wa jahal annal ijtihad
fardh fi kulli `ashr..hal 38. Cet. Maktabah Staqafiyah Ad Diniyah
[8] Imam Nawawy, Adabul fatwa wal mufti, hal 25, Cet. Dar Fikr
[9] Sayyid Alawy bin Ahmad As Saqaf, Sab`atul kutub mufidah hal 46 Cet. Haramain
[10] Imam Nawawy , Ibid Hal 23
[11] Jalal Al Mahally, Syarah `ala jam`ul jawami`, jilid 2 hal 385 Cet. Haramain
[12] Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Fatawy Kubra, jilid 4 hal 302 cet. Dar fikr
[13] Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Tuhfatul Muhtaj, jilid 10 hal 123 cet. Dar Fikr
[14] Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul Haq, hal 3 cet. Matba`ah Maimaniyah
[Laporan Santri Dayah Mudi Mesra Samalanga, Tgk. Mursyidi Langsa]